
PWMU.CO – Menjadi pelajar di masa kini bukanlah perkara mudah. Tekanan datang dari berbagai arah, tugas yang menumpuk, tuntutan nilai akademik, hingga pengaruh media sosial yang kerap memengaruhi cara kita berpikir dan merasa. Banyak teman sebaya saya terlihat aktif, sibuk ke sana kemari, namun diam-diam merasa kosong. Seolah mereka berjalan cepat tanpa benar-benar tahu ke mana arah yang dituju.
Di tengah kegelisahan itu, saya mengikuti Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati (PKDTM) 1 yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Krembangan, Surabaya pada Jumat-Minggu (21-23/4/2025) lalu. Salah satu materi yang paling berkesan bagi saya adalah tentang Ke-IPM-an. Bukan hanya karena materinya informatif, tetapi juga karena saya merasa seperti diingatkan kembali siapa saya, untuk apa saya berada di IPM, dan bagaimana seharusnya saya bersikap sebagai seorang pelajar Muhammadiyah.
IPM, ternyata, bukan sekadar organisasi pelajar yang mengisi waktu luang. Sejak berdiri pada 18 Juli 1961, IPM membawa misi besar membentuk pelajar yang cerdas secara intelektual, tangguh dalam kepemimpinan, dan tetap berakar pada nilai-nilai Islam. Dalam IPM, kita diajak bukan sekadar menjadi peserta kegiatan, tetapi tumbuh menjadi pribadi yang memiliki arah, visi, dan kepedulian terhadap sesama.
Strukturnya yang berjenjang, dari mulai Pimpinan Pusat hingga Pimpinan Ranting di sekolah-sekolah bukanlah sekadar formalitas. Di balik itu, tersimpan sistem pembinaan yang serius dan berkelanjutan. Namun, saya sadar, sehebat apa pun sistem yang dibangun akan menjadi sia-sia jika anggotanya hanya hadir tanpa membawa ruh perjuangan. IPM membutuhkan lebih banyak pribadi yang benar-benar ingin belajar dan bertumbuh.
Saya sendiri merasa tersentil. Selama ini, mungkin saya terlalu fokus pada rapat, proyek, dan program kerja tanpa benar-benar menggali makna di balik semuanya. Materi Ke-IPM-an membuka mata saya bahwa IPM bukan sekadar soal seragam dan jabatan, tetapi tentang keberanian berpikir, keteguhan bersikap, dan ketulusan dalam memberi.
Sejak saat itu, saya mulai mencoba hal-hal kecil yakni lebih rajin membaca, ikut diskusi, dan berani menyuarakan pendapat saat melihat sesuatu yang tidak semestinya. Saya belajar bahwa perubahan bukan soal jumlah, tetapi soal kesadaran bahwa satu suara yang jujur bisa menginspirasi banyak orang.
Bagi saya, IPM bukan sekadar tempat belajar berorganisasi. Ia adalah ruang untuk menemukan versi terbaik dari diri saya. Di era yang serba cepat dan sering kali kehilangan arah, IPM mengajarkan saya untuk melangkah lebih pelan, tetapi lebih pasti dengan nilai-nilai Islam sebagai kompas utama.
Saya sadar, saya belum sempurna. Namun hari ini, saya melangkah dengan semangat yang baru. Bukan sekadar menjadi anggota, tetapi menjadi bagian dari gerakan yang membawa cahaya. Karena saya percaya, perubahan dimulai dari satu hati yang sadar dan siap untuk bergerak. (*)
Penulis Aqila Qanita Az Zahra Editor Ni’matul Faizah