Perkenalan saya dengan Ust Mu’ammal Hamidy berjalan melalui proses panjang. Pada tahun 60-an saya hanya mengenal namanya tanpa pernah melihat wajahnya ataupun membaca tulisannya. Pada awal dekade tersebut ketika pengaruh aliran DH (Darul Hadits) mulai masuk ke Kecamatan Brondong, Lamongan, muncullah kekhawatiran dari sebagian tokoh masyarakat. Maka ada inisiatif untuk mengadakan debat terbuka tentang ajaran DH, dan ust Mu’ammal adalah nama yang disebut-sebut sebagai calon debator unggulan untuk menghadapi ulama DH.
Sebagai murid dari ust A. Hassan, ahli debat dan ulama Persis yang paling berpengaruh, pastilah beliau orang yang paling cocok dan mampu mematahkan hujjah-hujjah DH. Namun entah mengapa, di hari H perdebatan itu, bukan beliau yang muncul tapi orang lain.
Saya tidak bertanya mengapa hal itu terjadi dan siapa sesungguhnya Ust Mu’ammal, karena waktu itu saya masih anak berusia 10 tahun. Yang terekam di dalam benak saya adalah bayangan seseorang yang ahli agama dan ahli debat yang bisa membuat lawan debatnya tidak berkutik.
(Baca: Setahun Perginya Ulama Bersahaja Tempat Bertanya, kemudian Terantuk di Dewan Kembali ke Persyarikatan, serta Penulis Produktif dan Moderat)
(Baca juga: “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Empat tahun kemudian, 1968, bayangan yang tersimpan di bawah sadar di usia 10 tahun itu muncul kembali. Saya ingin sekali meneruskan belajar di Pesantren Persis Bangil, tempat Ust Mu’ammal mengajar. Di tengah situasi ekonomi yang sulit pasca G30S/PKI, mendapatkan uang cukup untuk mengongkosi sekolah di luar kota bukanlah hal mudah.
Namun, saya setengah memaksa orang tua, untuk menyediakan uang yang dibutuhkan. Niat merantau tidak terbendung lagi. Saya ingin belajar agama di Pesantren Persis supaya bisa menjadi guru seperti Ust Mu’ammal. Terjadilah apa yang terjadi. Saya akhirnya berangkat meninggalkan kampung halaman untuk “nyantri” di Pesantren Persis yang waktu itu dipimpin oleh ust A. Qodir Hassan.
Selanjutnya halaman 02…