Sejak lama dirinya resah tidak mampu mencintai Al-Quran, “karena Al-Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Al-Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti.” Demikian penuturan kebutaan dirinya tentang ajaran Al-Quran kepada Zeehandelaar (18 Agustus 1899).
Hal ini juga diungkapkan kepada E.C Abendanon, “Aku berdosa, Kitab Suci Mulia itu terlalu suci, sehingga tiada boleh diartikan kepada kami” (15 Agustus 1902). Kartini merindukan Tafsir Al-Quran, agar dapat dipelajarinya.
Betapa bahagianya Kartini setelah mendapatkan penjelasan kandungan isi Al-Quran, digambarkannya kepada E.C Abendanon, “alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami” (15 Agustus 1902). Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, “Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
Dua hari kemudian menyusul suratnya yang menuturkan kegembiraan orang-orang tua di sekitar Kartini, karena mensyukuri Kartini yang tadinya tersesat, balik ke jalan yang benar. Diserahkannya semua kitab-kitab naskah bahasa Jawa, banyak pula yang dituliskan dengan huruf Arab. Peristiwa ini sangat memilukan perasaan Kartini. Sejak 17 Agustus 1902, juga karena pengaruh cahaya Al-Quran yang menerangi lubuk Hatinya : minazh zhulmati ilan nur.
(Baca: Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Pengaruh lanjutnya, Kartini akan membela iman Islam dan Al-Quran, “bersedia memberikan diri sendiri, bersedia menerima luka hati. Air mata dan darah akan mengalir banyak-banyak, tetapi tiadalah mengapa, semuanya itu mengarah kemenangan ” (17 Agustus 1902). Tanggal 17 Agustus pula kiranya Kartini memperoleh hidayah dan rahmat Allah.
(Baca: Ketika Kartini Bertasbih dan Lebih dari Sekedar Kartini)
Semula Kartini menggebu akan belajar ke Eropa, tetapi kenyataanya, halangannya sangat besar. Hanya orang Barat yang dikenalnya, tetapi ayahnya mengingatkan Kartini agar waspada, “Ni, jangan engkau sangka banyak orang Eropa yang sungguh-sungguh sayang kepadamu. Cuma satu dua orang saja yang berhati demikian”. Kartini membenarkan apa yang dipesankan ayahnya, dan dinyatakan kepada Ny Abendanon, 27 Oktober 1902, jumlahnya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Itu pun banyak yang bertingkah pura-pura dan hanya mencari untung untuk dirinya.
Kendati gagal memperoleh kesempatan belajar, dan hanya mampu mendirikan kelas kecil (05 Juli 1903) , namun kartini telah meletakkan dasar perjuangan mengangkat derajat kaum wanita. Lebih dari itu, Kartini mempelopori pula menjauhi diri dari sikap eksklusif. Diperjuangkannya Agus Salim (Minang), agar mendapatkan dana study dari dana yang dijanjikan untuk dirinya, dilimpahkan kepada Agus Salim.
(Diolah dari “Pengaruh Al-Qur’an Terhadap Perjuangan Kartini” dalam Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia karya Ahmad Mansur Suryanegara)