Selanjutnya diadakan semacam lobiying angkatan muda dengan angkatan tua (KH Hisyam, KH Mukhtar, serta KH Syuja’) yang juga dihadiri 3 konsul tersebut. Hasil pertemuan, ketiga angkatan tua menyatakan dengan tulus hati kesediaannya mengundurkan diri. “Lobiying atau sidang itu berlangsung dengan baik, dijiwai oleh keikhlasan dan keterbukaan, terasa benar persaudaraan yang pada hakikatnya masih erat mengikat kedua fihak yang berselisih,” tulis Djarnawi.
Setelah mereka mundur, rapat itu kemudian membentuk calon-calon anggota PP dan menentukan calon Ketuanya. Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua, namun ia menolak. Tindakan yang sama juga dilakukan Kyai Hadjid. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Surabaya) dengan mengutus KHA Badawi, H Abdul Hamid, dan KH Hisyam.
Seperti lainnya, Mas Mansur menolaknya dengan rendah hati, dan mengusulkan agar AR Sutan Mansur saja yang jadi ketua. Misi delegasi ini gagal, sehingga AR. Sutan Mansur sendiri yang menemui Mas Mansur. Terjadilah dialog yang lama antara dua Mansur ini, hingga akhirnya Mas Mansur berhasil diyakinkan untuk menjadi ketua PP.
Periode kepemimpinan Mansur dalam Muhammadiyah sejak 1937 ditandai dengan kebijakan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1940 yang terdiri 12 poin. Tujuh poin pertama sangat elaboratif, dan karenanya memberikan wawasan yang jelas mengenai dasar normatif agama, sementara sisanya lebih bersifat teknis. “Bukti betapa kuat dan segarnya pikiran-pikiran yang tertuang dalam langkah duabelas,” papar Syaifullah
(Baca: KH Mas Mansur, Sehari Khatamkan Minimal 1 Juz dan 5 Cerita Kedekatan Soekarno dan Mas Mansur)
Yang jelas, ketika mendengar Surabaya, kota kelahirannya, akan digempur Sekutu, Mansur bergegas pulang kampung pada 9 November 1945. Meski dalam kondisi sakit, dia masih ikut berjuang dan menggerakkan pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan. “Dia mendatangi tempat-tempat kaum muda dan membangkitkan semangat perjuangan mereka,” cerita almarhum Kadaruslan pada awal Oktober 2008.
Menurut kesaksian Kadaruslan, pada 9 November malam, Mansur bersama Abdul Wahab Hasbullah, Soetomo, Roeslan Abdulgani, dan Doel Arnowo, mengadakan rapat menyikapi ultimatum Sekutu agar warga Surabaya menyerah. Setelah berkali-kali menghubungi Jakarta selalu dijawab ‘agar menunggu’, barulah pada hubungan telepon ketiga dapat jawaban: “Terserah Surabaya”. Rapat pun memutuskan menolak menyerah kepada Sekutu, hingga terjadilah peristiwa 10 November, yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Setelah dua kali ditangkap dan ditahan penjajah Belanda, Mas Mansur dikembalikan kepada keluarga dalam keadaan syahid, 25 April 1946. Kewafatannya dalam tawanan NICA, membuat bangsa ini jatuh dalam duka yang mendalam. “Kepada anak-anak para prajurit semua, saya serukan: perhatikan, pahami serta amalkan pelajaran yang telah kita terima sebagai tingggalan Bapak kita, Kiai Haji Mas Mansur. Tanamkan dalam sanubari kita suatu tekad: kita tidak akan menyerah,” begitu bunyi pernyataan belasungkawa dari Panglima Besar TNI, Jenderal Sudirman. (*)