PWMU.CO – Aku hanyut dalam gelombang semangat ratusan ribu manusia yang datang dari segala penjuru mata angin, menuju satu titik. Syukur kalau bisa mendekati bangunan berasitektur sederhana, namun dilapisi kiswah hitam beraksen benang kuning dan beraura emas. Mendekati Ka’bah, pasti yang menjadi titik incaran gelora jiwa ratusan ribu manusia sebagai manifestasi simbolik keakraban dengan Allah.
Adzan Subuh baru saja dikumandangkan. Hadir, apalagi ingin mendekat pada bangunan segi empat warisan Nabi Adam itu, pada saat adzan subuh berkumandang, adalah pilihan berisiko. Sekedar mendapatkan ruang sempit laiknya duduk di antara dua sujud dalam shalat, bahkan hanya di pelataran Masjid al Haram yang megah itu, tidaklah mudah. Sudahlah, abaikan pilihan berisiko ini. Ka’bah adalah magnet.
Pertama kali berdiri persis di depannya sekitar hampir dua dekade silam, aku tak kuasa menahan tumpahan air mata. Perjumpaan pertama dengan sesuatu yang dipikirkan dan dirasakan dalam rentang waktu yang lama, pasti memberi kerinduan yang membuncah. Kata dan kalimat tak lagi kuasa memerantarai gejolak rindu itu. Cukuplah diam dan air mata sebagai pengganti bahasa verbal. Ratusan ribu pasang kaki tetap saja merengsek ke jarak yang lebih dekat lagi.
Aku berbahagia, aku bisa hadir dalam jarak yang begitu rapat, bahkan sedemikian rapatnya dengan artefak yang terajut kuat dengan sejarah Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail. Aku tidak mengalami histeria seperti saat perjumpaan pertama, tetapi mataku mulai membasah.
Dalam jarak yang sedemikian rapat, aku tetap mendengar derap langkah kaki dari berbagai arah, kendati iqamat telah dikumandangkan sebagai pertanda shalat subuh segera dimulai. Aku menyukai momen shalat shubuh. Shalat shubuh yang hanya dua rakaat bisa berdurasi cukup lama karena bacaan imam yang panjang dan sangat merdu. Imam beserta alunan bacaan Alquran melengkapi magnet Ka’bah dan suasana masjid yang mewah.
Aku paling menyukai Bandar Balilah setelah Syeikh Abdul Rahman As-Sudais jarang tampil sebagai Imam. Pengaruh As-Sudais lumayan kuat di Indonesia. Banyak Imam shalat di tanah air yang menjadikan as Sudais jadi “benchmark”, kendati akhir-akhir ini ada upaya me-mainstream-langgam Jawa sebagai secuil dari langgam Nusantara yang beragam. Dengan tetap mengingat As-Sudais, aku mulai menyukai Bandar Balilah. Jika aku merindukannya, aku menikmatinya melalui YouTube. Bahkan ketika menghadapi “drama malam”, aku menenangkan diri melalui Bandar Balilah.
Ini bukan dongeng, tetapi betul-betul nyata, setidaknya begitu yang kurasakan. Di sebuah vila tua di Bogor, tepatnya Mega Mendung, aku dibangunkan secara paksa oleh sosok hitam yang terjun cepat dari atas langit-langit kamarku. Dan dalam sekejab, sosok hitam itu bermetamorfosis menjadi wanita berhijab serba hitam. Aku berteriak kuat hingga kawan di kamarku ikut terangkat. Aku dibekap gemetar.
(Baca juga: Alphard, Mobilitas Dakwah, dan Muhammadiyah Madura)
Masih dalam gemetar, aku lalu mengingat sopir travel yang bercerita ihwal keangkeran vila yang kutempati. Istighfar tidak cukup kuat menghilangkan gemetarku. Aku meraih gawaiku dan aplikasi YouTube menjadi sasaran telunjuk tangan kananku. Mendengar suara Bandar Balilah, aku terbangun kedua kalinya setelah adzan Shubuh terdengar dari jauh.
Imam shalat Shubuh pada hari ini, Kamis, 28 April, sepertinya bukan Bandar Balilah. Aku paham betul karakter suara lembut dan merdu, Imam jebolan doktoral dari Universitas Islam Madinah ini. Tetapi aku tetap menikmatinya. Kualitas estetikanya kala membaca ayat Alquran selepas bacaan Alfatihah, 11/12 dengan Bandar Balilah. Abaikan siapa pemilik suara yang dinikmati jutaan manusia pada shubuh itu. Ada suatu yang menambah vibrasiku kala Imam sampai pada bagian akhir ayat 249 surat Albaqarah: “Berapa banyak yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.”
Doa Aneh Umar bin Khattab, halaman 2