PWMU.CO – Pada tahun 1922 hingga 1923, kesehatan KH Ahmad Dahlan sudah mulai terganggu. Menjelang Rapat Tahunan 1923, Hoofd Bestuur (HB –sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah yang khusus membicarakan kondisi kesehatan Kiai Dahlan. Hasilnya, pendiri Muhammadiyah ini diminta untuk istirahat (tetirah) keluar daerah agar bersungguh-sungguh istirahat dengan tenang tidak terganggu dan terdesak urusan hari-hari, organisasi Muhammadiyah maupun lainnya.
Pilihan Kiai Dahlan, yang ternyata juga berdasarkan saran tim dokter, adalah Pasuruan, daerah sekitar lereng Gunung Bromo. Diantar oleh sedikitnya dua orang dari anggota H.B. Muhammadiyah yang ditentukan, Fachruddin dan M. Abdullah, Kiai Dahlan dan Nyai Walidah pun berangkat ke lokasi yang dituju.
Menurut Sjoedja’, tempat yang dituju itu hanya disebutkan dengan “Gunung Tretes, bawah Karesidenan Malang Jawa Timur”, tanpa tambahan keterangan apapun. Namun, ketika MATAN (Majalah yang diterbitkan PWM Jatim) melacaknya pada 2012, lokasi tempat tetirah Kiai Dahlan itu ternyata daerah Tosari, yang sama-sama masuk wilayah Kabupaten Pasuruan.
(Baca: Tipe-Tipe Warga Muhammadiyah dan Di Sel Tahanan, Buya Hamka Nyaris Putus Asa)
Memang ada perbedaan kapan Kiai Dahlan bersama Nyai Walidah itu datang ke tempat tetirah. Dalam catatan Sjoedja’, peristiwa itu terjadi setelah tanggal 13 Januari 1923. Tepatnya beberapa saat setelah HB Muhammadiyah Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) mendirikan secara resmi Rumah Miskin, yang dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi Rumah Sakit PKU. Sementara sumber lain, Pusat Penelitian dan Kajian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menyatakan kedatangan Kiai Dahlan itu terjadi pada tanggal 29 November 1922.
Perbedaan tanggal ini sebenarnya sangat bisa dimaklumi. Sebab, sebelum Kiai Dahlan disuruh tim dokter untuk bertetirah, dia sudah terbiasa mengunjungi Tosari untuk berdakwah. Rata-rata dakwah yang dilakukannya selama tiga hari berturut-turut. Dalam sebulan, Kiai Dahlan datang sekali, terkadang dua bulan sekali, dan paling lama tiga bulan sekali. “Ketika Kiai Dahlan ketika datang, menginap di rumah kepala desa yang bernama Pak Arispani,” jelas Ketua PDM Kabupaten Pasuruan 2010-2015, Imam Soeladji.
(Baca: Mengenang alm. Ustadz Mu’ammal Hamidy dan Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-kata)
Artinya, bisa jadi, saran tetirah para dokter itu memang sengaja direncanakan Kiai Dahlan untuk lebih intens dalam membina masyarakat setempat. Apalagi, Tosari yang dijadikan tempat tetirah itu merupakan usulan dari Kiai Dahlan yang disetujui oleh tim dokter.
Sebab, dari cerita yang berkembang di masyarakat setempat, setelah kunjungan 29 November 1922 itu, Kiai Dahlan memang berkunjung sekali lagi dalam keadaan kurang sehat. “Saat terakhir datang, beliau dalam keadaan sakit. Dan tidak lama berselang sudah tidak lagi datang ke Tosari,” tambah Imam.
Apapun itu, yang jelas, saat bertetirah di Pasuruan Jatim itu, Kiai Dahlan justru berdakwah dan membuat mushalla. Sampai sekarang mushalla itu masih ada, bahkan kini berubah menjadi masjid yang bernama Al-Khikmah Al-Hidayah. Kini, di salah satu dindingnya terpasang sebuah gambar simbol bola bumi dengan bintang sembilan. Masyarakat setempat lebih akrab menyebut tempat beribadah ini dengan Masjid Kiai Dahlan daripada nama aslinya.
Selanjutnya: Dakwah Dahlan di Tempat Tetirah… halaman 2