Pendapat senada juga disampaikan pembaca pwmu.co bernama Hairul Warizin. “Yang sekolah di Muhammadiyah tidak semuanya berasal dari keluarga besar Muhammadiyah. Sehingga sudah tepat kalau sekolah tidak mengharuskan lulusannya menjadi aktivis Muhammadiyah,” ungkapnya. Hairul berpendapat demikian karena sekolah Muhammadiyah bukan sekolah kader Persyarikatan. “Sekolah Muhammadiyah memberikan keleluasaan bagi alumninya menjadi aktivis di manapun,” tulisnya.
Kepada pwmu.co Senin siang (8/5), Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Biyanto mengatakan, sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan lebih bersifat rahmatan lil alamin. Sebagai bagian dari ormas yang ikut mendakwahkan ajaran Islam yang universal, kata Biyanto, Muhammadiyah meniatkan pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu untuk kemaslahatan umat dan bangsa. “Kalaupun ada yang menjadi kader Muhammadiyah, ya, disyukuri,” ujar Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim 2010-2015 ini.
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini mengatakan, di tempat-tempat yang umat Islam menjadi minoritas, seperti di Papua atau Nusa Tenggara Timur, mayoritas siswa atau mahasiswa pada sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah adalah non-Muslim.
“Apa mereka harus menjadi kader Muhammadiyah, sementara salah satu syarat anggota Persyarikatan adalah beragama Islam,” kata Biyanto. “Proses pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebuah ikhtiar untuk kemajuan peradaban manusia. Jika dalam proses itu, ada hidayah, sehingga siswa yang non-Muslim masuk Islam dan menjadi kader Muhamadiyah, itu soal lain,” ungkapnya.
Dengan demikian, kata Biyanto, sekolah Muhammadiyah tidak eksklusif. “Silakan warga NU atau Persis menyekolahkan anaknya di Muhammadiyah. Tak usah kuatir jadi Muhammadiyah. Itu yang selama ini terjadi. Jika mereka menjadi Muhammadiyah, itu juga soal lain. Berarti mereka berkemajuan.” (MN)