PWMU.CO – Ketua Dewan Kehormatan DPP PAN Amien Rais, mengibaratkan Pilpres 2019 laksana perang Bharata Yudha dan Armagedon. Pernyataan ini diungkapkan di depan beberapa orang di perhelatan Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta pekan ini.
Pernyataan yang bersifat briefing ini kemudian menyebar ke media dan dikomentari secara parsial oleh seorang pengamat politik.
Sebagaimana praktik yang selama ini sudah lazim dilakukan, pernyataan yang dikutip sepotong-sepotong itu disiarkan oleh media dan kemudian diamplifikasi di media sosial oleh para buzzer.
Narasumber Hendri Satrio mengkritik Amien dan menyebutnya tidak pantas perhelatan pilpres disamakan dengan Bharata Yudha atau Armagedon. Pilpres, kata Hendri, seharusnya menjadi perhelatan yang damai dan aman.
Ini merpakan praktik yang sudah berkali-kali dilakukan oleh media dan pasukan seberang untuk mendegradasi dan menurunkan kredibilitas pasangan Prabowo-Sandi dan orang-orang penting di sekitar pasangan itu.
Kita masih ingat bagaimana media menggoreng pernyataan Prabowo soal “tampang Boyolali”, “gojek”, dan “korupsi Indonesia stadium empat”. Media mengutip sepotong frasa atau kalimat yang kemudian dimintakan komentar secara selektif oleh orang-orang tertentu secara parsial tanpa mengimbanginya dengan pernyataan orang lain yang lebih positif supaya tercipta liputan yang “balance” dan memenuhi prinsip “cover both side”.
Ini merupakan prinsip dasar yang selalu diabaikan oleh “media mercenaries” yang merelakan dirinya diperkosa untuk kepentingan politik dengan imbalan uang.
Dari situ kemudian para buzzer medsos beramai-ramai menyerang dan memaksa Prabowo untuk minta maaf, setelah itu demo-demo bayaran digerakkan. Setelah kemudian Prabowo minta maaf, alih-alih diterima, malah diputar lagi untuk jadi bahan menyerang Prabowo lagi.
Media semacam ini oleh Ryan Holiday (Trust Me I’m Lying, 2012) disebut sebagai monster dan tentara bayaran. Pola mencari-cari kesalahan dari pidato Prabowo itu oleh Holiday disebut sebagai “feeding the monster” memberi makan monster yang selalu siap mengunyah dan menelan apa saja sampai sampah pun.
Para aktivis jurnalisme menyebut gejala ini sebagai “churnalism” alias jurnalistik asal telan karena sudah tidak memedulikan kaidah yang paling dasar pun dalam jurnalisme. Verifikasi yang merupakan prinsip dasar jurnalistik diabaikan atau bahkan tidak dipahami.
Kovac dan Rosientil (Elements of Journalism, 2001) mengatakan bahwa verifikasi akan membedakan jurnalisme dari propaganda dan hoaks. Tapi sekarang media mercenaries itu justru tidak pernah menerapkan verikasi sehingga kita bisa menyimpulkan kualitas jurnalisme mereka.
Kasus Bharata Yudha dan Armagedon Amien Rais diarahkan ke titik yang sama media dan “so called” pengamat politik ramai-ramai mengkritik, mungkin juga akan diikuti oleh demo-demo bayaran. Rangkaian ekosistem semacam ini menjadi praktik lazim media mercenaries selama ini.
Orang yang tidak paham wayang dan referensinya terbatas pasti gagal paham terhadap pernyataan Amien Rais. Dengan merujuk Pilpres 2019 sebagai perang Bharata Yudha Amien ingin menjelaskan bahwa pilpres ini bukan sekadar perang fisik yang memperhadapkan dua kubu, yang sebenarnya bisa disebut kurang seimbang. Tetapi pilpres Bharata Yudha ini adalah perang moral antara haq melawan bathil.
Kubu koalisi Kurawa mempunyai kekuatan militer dan finansial yang masif karena koalisi ini mengumpulkan seratus orang penguasa. Koalisi raksasa ini harus dihadapi oleh koalisi Pandawa yang hanya terdiri dari lima orang bersaudara.
Ini perang besar (the ultimate war) yang akan menentukan masa depan peradaban umat manusia.
Pasukan Kurawa mengerahkan semua potensi kekuatan yang ada. Segala macam taktik strategi kotor dan licik diterapkan. Intrik, fitnah, pemalsuan, penipuan, dan segala taktik buruk diterapkan untuk melemahkan lawan.
Ada tokoh-tokoh antagonis seperti Sengkuni dan Durna di kubu Kurawa yang jago dalam meracik strategi dan taktik paling kotor. Ada juga Dursasana yang tinggi besar, kasar, dan rakus yang melahap semua proyek negara. Dia menjadi andalan meskipun otaknya pasa-pasan.
Di sisi lain kubu Pandawa adalah kubu moral. Bagi Pandawa perang Bharata Yudha adalah laku moral untuk melawan kekuatan bathil demi menegakkan negara yang haq. Pada akhir episode Bharata Yudha kita tahu bahwa koalisi Pandawa bisa menghancurkan koalisi Kurawa.
Dalam khazanah Islam kita mengenal perang Badar di mana tentara kecil Islam yang hanya berkekuatan 300 tentara amatir tak terlatih bisa memukul mundur tentara kafir berkekuatan 1000 orang yang well equipped, bersenjata lengkap, dan logistik kuat.
Amien Rais tidak membuat referensi terhadap Perang Badar (pasti akan lebih heboh reaksinya), dan memilih referensi dari Alkitab dengan menyebut Armagedon. Dalam Alkitab Armagedon atau Harmagedon adalah kondisi akhir umat manusia yang mengalami kehancuran total akibat peperangan besar. Atau, kalau Anda penggemar film Anda pasti masih ingat film Bruce Willis pada 1998 yang menceritakan pertempuran besar di planet lain.
Kalau Anda punya wawasan rada luas, dan tidak suka nyinyir, atau kurang kerjaan, sebenarnya pernyataan Amien Rais itu biasa-biasa saja. Amien adalah profesor ilmu politik dan doktor ilmu politik lulus cum laude dari University of Chicago yang prestisius. Ia mempunyai pemahaman dan pengalaman politik yang sangat luas dan kaya dengan berbagai referensi baik dari khazanah tradisoonal, Islam, maupun khazanah modern.
Karena itu pernyataannya mengenai Bharata Yudha adalah pernyataan hiperbolik yang harus ditafsirkan dengan memakai referensi yang mencukupi, sehingga tidak terkesan sempit seperti pernyataan yang beredar di media.
Terlebih lagi, pernyataan itu dibuat bukan di ruang publik melainkan di pertemuan terbatas di arena Muktamar Pemuda Muhammadiyah. Pernyataan itu layaknya sebuah pep talk di dressing room menjelang pertandingan sepakbola atau ketika jeda. Pep talk itu rahasia pelatih dan dressing room tidak boleh dibocorkan keluar. Kalau sampai bocor berarti ada penyusup di ruang ganti atau ada anggota tim dan ofisial yang menjadi tumbak cucukan melaporkannya ke media. Suasana muktamar yang panas membuat Amien perlu memberikan pep talk yang powerful, maka keluarlah referensi Bharata Yudha dan Armagedon itu.
Suasana Muktamar XVII Pemuda Muhammadiyah itu sendiri kurang membuat gembira. Sejak awal beredar info bahwa ada calon titipan kekuasaan yang jauh-jauh hari didesain untuk menggantikan Dahnil Anzar Simanjuntak sekaligus untuk menjinakkan Pemuda Muhammadiyah.
Kiprah Dahnil memang membuat kekuasaan panas dingin. Karena itu Dahnil harus dipotong dari akarnya di Pemuda Muhammadiyah dan calon yang didukungnya harus dihentikan. Maka muncullah pemanggilan oleh polisi kepada Dahnil karena ada tuduhan penyelewengan di acara Kemah Pemuda bikinan Kemenpora.
Sejak awal, Muktanar sudah mirip kongres partai politik. Ada indikasi iming-iming uang, ada pemilih suara yang diisolasi dan dikarantina, ada intimidasi, dan sejenisnya.
Pada pidato pembukaan Dahnil eksplisit mengungkap kemungkinan praktik kotor itu. Amien Rais pun turun gunung mencoba menyelamatkan Muktamar dari kekotoran itu. Tapi, pada akhirnya Amien dan Dahnil tidak berdaya. Infiltrasi Kurawa sudah sangat terasa, dan aroma Bharata Yudha semakin nyata. (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.