PWMU.CO – Seluruh jagat raya mengakui kalau Lionel Messi itu pemain terbaik dunia. Kehebatannya di atas rata-rata pemain. Kalau tidak superhebat, mustahil organisasi bola dunia FIFA menobatkan sebagai pemain terbaik dunia lima kali. Tahun 2009 (FIFA World Player of the Year), 2010, 2011, 2012, dan 2015 (FIFA Ballon d’Or).
Tetapi kehebatan Messi saat main Barcelona berbeda dengan saat main di tim nasional Argentina. Ibaratnya kalau main di Barcelona pamornya seperti matahari tetapi kalau di Argentina cukup seperti bulan.
Di Barcelona dia memiliki tandem atau pemain penopang yang hebat. Pernah tandem dengan Iniesta. Pernah pula dengan Neymar dan Luis Soarez. Para pelatih tahu persis, seorang pemain super bintang harus memiliki tandem yang kemampuannya tidak jauh. Tanpa itu, akan mudah dijerembabkan.
Contohnya, Gareth Balle. Dia adalah pemain superhebat. Jika tidak, mustahil Real Madrid berani merogoh kocek transfer 94 juta euro, sekaligus menjadi pemegang rekor transfer termahal tahun 2013. Di Real Madrid bintangnya sangat terang karena memiliki tandem hebat seperti Ronaldo, Karem Benzema.
Tetapi begitu main bersama tim negaranya, Wales, sinar Balle redup layaknya poklam yang voltase listriknya drop. Karena, dia tidak memiliki tandem yang nyaris sepadan.
Untuk mengatasi krisis pemain tandem, Maradona, Pelatih Argentina di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan merekrut pemain gaek Sebastian Veron. Maksudnya, Veron bisa menjadi tandem sang maestro Messi. Karena pemain yang ada seperti Tavez, Aguero, dan Higuain tidak bisa padu karena salah satu syarat tandem itu harus padu dengan sang maestro.
Ternyata, pilihan Maradona meleset. Veron memang hebat pada masa emasnya, tetapi Veron tidak bisa melawan umur yang sudah memasuki 35 tahun. Fisiknya payah. Ball feeling-nya juga sudah menurun. Ternyata juga ada masalah “konflik generasional” dengan Messi dan pemain muda lainnya seperti Di Maria, yaitu persepsi, pola pikir, style. Tim Argentina rapuh dan harus mikul koper setelah dibekuk Jerman 0-4 di babak seperempat final.
Beda dengan pelatih tim nasional Jerman, Joachim Loew. Dia sadar betul bahwa Klose pada usia 32 tahun cukup berat untuk bermain konsisten di Piala Dunia 2014. Alasan usia tua pula Loew tidak memanggil Mario Gomez. Sudah menjadi sunatullah, semakin tua itu semakin rapuh. Ibarat daun, setelah hijau muda, berproses menjadi hijau tua, kemudian menguning. Daun yang menguning biasanya akan duluan gugur manakala ada guncangan.
Lantaran tidak ada striker muda yang lebih hebat, akhirnya tetap memainkan Klose dengan catatan memberikan tandem pemain yang sudah matang, Mesut Ozil. Komposisi ini membuat permainan Jerman jadi impresif sekali. Seluruh lini hidup.
Maradona
Jika menggunakan metafora bola, Capres Prabowo Subianto itu seperti Klose. Dia memang pemain hebat tetapi belum pernah menjadi pemain terbaik FIFA. Di Pilpres ini dia mendapat pemain tandem Sandiaga Uno layaknya Klose ditandemkan dengan Ozil.
Saya tidak bermaksud mau mengatakan pasangan Prabowo-Sandi akan bernasib seperti Jerman di Piala Dunia 2014, tetapi duet ini cukup solid dan harus sangat dicermati oleh lawan. Manajer TKN Eric Thohir yang dalam metafora ini sebagai pelatih, harus mencermati dan segera merespon dengan strategi permainan.
Eric tak boleh seperti Pelatih Maradona di Piala Dunia 2010 yang terlambat mereposisi Veron yang menjadi titik lemah tim. Eric memang memiliki Jokowi yang boleh dianalogkan dengan superbintang Messi. Tetapi jika tandemnya justru jadi titik lemah seperti Veron, harus secepatnya dilakukan perubahan strategi karena tidak mungkin menarik keluar lapangan dan memasukkan pemain pengganti.
Nah, Veron di tim Eric itu justru Ma’ruf Amin. Ibarat dalam bola, Ma’ruf Amin sampai sekitar 45 menit pertandingan ini masih belum menunjukkan performance terbaiknya meski dia juga termasuk pemain hebat. Beberapa kali dia membuat blunder seperti soal mobil Esemka akan dilaunching Oktober, mengatakan Jokowi santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiíyah Situbondo, menyinggung kalangan difabel. Sehingga sering dia dilihat justru menjadi beban Jokowi.
Mestinya Eric mengubah strategi dan taktik permainan seperti Pelatih Carlos Bilardo di Piala Dunia Mexico 1986. Bilardo sudah menduga Pelatih Jerman Franz Beckenbauer akan menugaskan Lothar Matthaeus untuk mematikan Maradona. Maka Maradona ditarik sedikit mundur dengan banyak melakukan pergerakan horizontal, dan mengoperasikan pemain senior Burruchaga di sayap agak masuk ke dalam.
Jerman jelas tim yang tak bisa diremehkan. Di samping ada pelatih Sang Kaisar yang genius, juga ada sederet pemain bintang seperti kiper Schumacher, Mattheus, Rudi Voller, Karl-Heinz Rummenige. Namun Argentina bisa mengalahkannya karena faktor utama adalah kehebatan Sang Super Bintang Maradona dan strategi jitu Carlos Bilardo.
Eric bisa ibarat Bilardo. Jika Eric memiliki Jokowi, Bilardo memiliki Maradona. Sekarang tantangan bagi Eric adalah bagaimana meramu strategi dan taktik pada separoh waktu pertandingan. Bukan hanya didasarkan perhitungan matematis, otak-atik angka versi lembaga survei, tapi feeling juga harus main.
Nah, mainkan Ma’ruf Amin seperti Burruchaga. Mainkan dia sebagai kiai yang mencerminkan dirinya adalah Ketua Umum MUI, mantan Rais Aam PBNU, dan Mustasyar PBNU. Memainkan dia sebagai politisi meskipun ini arena pertandingan politik, masih perlu diuji kesahihannya.
Sebagai pelatih Eric memang memiliki otoritas tak terbantahkan dalam menentukan strategi, taktis, komposisi, dan lain-lain. Tapi Eric harus belajar kepelatihan ke Beckenbauer, pelatih Brasil Mario Zaggalo. Kedua pelatih ini mengutamakan ketermasing-masingan pemainnya dalam melakukan hubungan interpersonal.
Bagi Zagallo, setiap pemain membutuhkan cara pendekatan yang berbeda. Bebeto hatinya lembut. Dia tidak bisa diperintah dengan keras. Berbeda dengan Roberto Carlos yang keras.
Eric mesti menggunakan pendekatan khusus kepada Ma’ruf Amin. Bagaimanapun Ma’ruf Amin bukan berangkat dari parpol. Dia sudah sepuh. Dia menyandang predikat kiai haji, predikat yang memiliki nilai spiritual tinggi. Ibaratnya membaca buku yang sudah tua dan lama tersimpan di rak pasti berbeda dengan membaca bacaan digital model milenial.
Kurang tepatlah jika untuk mengatasi sisi krisis tim itu justru Eric turun merangkap menjadi pemain dengan blusukan ke pasar secara terbuka. Boleh turun ke pasar, ke warung dalam rangka mencari info, menelaah keadaan.
Dalam dunia bola, hampir tidak ada pelatih merangkap pemain. Didier Descham kurang hebat apa waktu jadi pemain timnas Perancis, tetapi dia tidak mau gila merangkap pelatih jadi pemain. Demikian juga pemain dan pelatih jago seperti Beckenbauer, Zidane, Pep Guardiola, Van Gaal.
Mungkin hanya Mario Kempes yang berani menjadi pelatih merangkap pemain pada waktu di Pelita Jaya. Tapi saya yakin, Kempes yang merupakan bintang yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1978 melakukan itu dengan terpaksa untuk jualan nama besar dalam rangka menarik penonton.
Kempes pasti mafhum tugas dan fungsi pemain dengan pelatih itu tidak bisa dirangkap-rangkap. Tugas pelatih itu menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan, menyusun strategi, mengoperasikan taktik dan manuver, menyusun komposisi, melakukan antisipasi sekaligus melakukan reaksi cepat. Sementara pemain itu bagaimana menjalankan instruksi pelatih dengan baik, melakukan improvisasi di lapangan. Hasilnya, Kempes tidak berhasil baik menjadi pelatih maupun pemain. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior, tinggal di Sidoarjo.