
PWMU.CO – Kekuatan politik liberalisme dan kapitalisme global pada saat ini berusaha mencaplok Indonesia. Hal ini seperti mengulang penjajahan di Indonesia yang dimulai dari kehadiran sindikat perdagangan VOC di akhir abad 16. Jika kita tidak waspada, Indonesia bisa bernasib seperti kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia seperti Mataram, Banten, Makassar, Ternat, Tidore, Samudera Pasai. Alias Indonesia bisa bubar.
“Jadi yang mengancam Indonesia itu bukan atas nama negara tetapi kekuatan sindikat internasional, baik politik maupun bisnis. Sindikat itu bisa saja lintas negara. Dan pada akhirnya juga di-back up oleh negara. Dan Indonesia bisa dijadikan tumpeng dicuil-cuil dibagi-bagi,” kata Anwar Hudijono, wartawan senior dalam pengajian Fajar Sodiq di Pondok Pesantren Nurul Azhar 2, Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Ahad (27/1/19).
Menurut ia, ketika yang pertama kali datang adalah sindikat bisnis Portugal, Kerajaan Islam Demak sudah tahu bahwa Portugal merupakan ancaman bagi kedaulatan Demak. Untuk itulah Demak mengirim pasukan dipimpin putra mahkota Pangeran Adipati Unus untuk mengusir tetapi gagal.
Setelah Portugal, giliran VOC dari Belanda mendarat di Batavia (Jakarta sekarang). Raja Mataram Sultan Agung berusaha mengusir mereka sampai terjadi perang dua kali. Mataram kalah.
Setelah peperangan itu VOC melakukan operasi inteljen di dalam pemerintahan Mataram. Yang masuk perangkap inteljen bukan main-main yaitu putra mahkota, Amangkurat 1. Maka begitu Sultan Agung wafat, penggantinya, Amangkurat 1 melakukan politik kompromi dengan VOC. Politik kompromi ini terbukti merugikan Mataram.
“Amangkurat mengabaikan nasihat para sesepuh dan ulama yang ikut berjuang menyerang VOC agar jangan melakukan kompromi karena itu sama saja seperti ular mendatangi galah. Tetapi malah para sesepuh dan ulama dibantai. Inilah rezim paling kejam dan penuh teror. Ribuan ulama dan keluarganya dibantai di alun-alun Mataram,” kata Anwar Hudijono.
Sejak itu, katanya, VOC perlahan-lahan tapi pasti mulai menguasai Mataram. Bahkan sejak Amangkurat 2, de jure rajanya memang Amangkurat tapi de facto VOC. Raja tidak lebih dari rejim boneka. Satu per satu kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia seperti Makassar, Ternate, Banten, Tidore, 4 Kerajaan Islam di Papua jatuh. Hiduplah Indonesia sebagai negara terjajah ratusan tahun. Umat Islam hidup tidak dalam is kariman (hidup mulia).
Melumpuhkan Islam
Lebih lanjut dia mengatakan, melihat pola pergerakannya, kekuatan duet politik liberalisme dan ekonomi kapitalisme global ini terkesan meniti jejak VOC untuk mencaplok Indonesia. Seperti melakukan infiltrasi ke dalam pemerintahan, institusi negara, dan komponen bangsa yang lain termasuk partai politik. Bahkan bukan mustahil mereka sudah membentuk parpol.
“Mereka sangat paham bahwa penjaga utama Idonesia ini umat Islam. Selama ratusan tahun penjajahan, perlawanan paling keras dan frekuensi paling banyak adalah dilakukan umat Islam dengan bingkai perang sabil atau jihad fi sabilillah. Kita bisa melihat doktrin perang sabil itu berkumandang sejak Adipati Unus, Perang Diponegoro, Perang Aceh, sampai perlawanan Kiai Kasan Mukmin di Sidoarjo tahun 1914, bahkan Perang 10 Nopember,” katanya.
Maka mereka berusaha melumpuhkan kekuatan umat Islam dengan cara mengadu domba, memecah belah. Sekarang kita lihat Islam di Indonesia diserpih-serpih dengan stigmatisasi seperti Islam moderat, Islam radikal, ahlus-sunnah wal jamaah, wahabi, Islam toleran, Islam liberal dan sebagainya. Sesama Muslim saling menghina, mencekal, menghujat.
Untuk menjaga kohesivitas dan kekokohan ukhuwah umat Islam, menurut dia, hendaknya berpegang pada Quran dan sunah. “Allah sudah memberi petunjuk pada Quran surah Al Hujurat. Fundamen kita adalah taqwa dan jangan sombong kepada Allah seperti dalam ayat,” ujarnya.
Kita harus sadar, sambungnya, bahwa liberlisme dan kapitalisme global itu menggunakan proxy war. Maka penangkalnya berpegang pada Al Hujurat ayat 6 yaitu kita harus hati-hati terhadap informasi yang disebarkan kaum fasik (pendosa).
“Ayat 10-12 memberi pedoman bagaimana kita membina persaudaraan sesama kaum beriman. Misalnya tidak saling mengolok-olok, tidak merasa lebih unggul dari yang lain, tidak mengembangkan sikap curiga. Kemudian dalam konteks kebangsaan, kita diberi pedoman ayat 13 bahwa manusia itu apapun sukunya, agamanya, adalah saudara,” katanya.
Yajuk dan Makjuj
Anwar Hudijono mengatakan, politik liberalisme dan kapitalisme global ini dua mata tombak yang berjalan beriringan dengan watak seperti Yakjuj dan Makjuj. Kedua mahluk yang ini bergerak serentak dangan sangat cepat seperti air bah yang turun dari gunung, menerjang dan merusak apa saja. Mereka memiliki daya destruksi yang luar biasa.
Ada ulama yang melihat, watak Yakjuk dan Makjuj itu dimiliki Pasukan Tartar Mongol jaman Jenggis Khan yang merusak dan menguasai hampir sepertiga dunia.
Jika merunut pada sejarah, ganasnya kelompok yang berwatak Yakjuj Makjuj itu harus dihadapi oleh kepemimpinan yang perkasa. Dalam dunia militer, pemimpin yang berani perkasa adalah Saifuddin Qutuf dari Mesir, yang berhasil menghacurkan tentara Mongol dalam dua pertemuran di Ain Jalut. “Irak betapapun negaranya besar, tapi karena rajanya lemah hanya dalam sekejap dihancurkan oleh Mongol sampai Baghdad banjir darah, kitab-kitab dibuang ke Sungai Eufrat sampai airnya menghitam,” tegasnya.
“Nah, Yakjuj Makjuj zaman now itu sangat destruktif. Kekayaan Indonesia dijarah, dikuasai. Mulai tambang, sampai perkebunan jutaan hektar,” tegasnya. (AH)