PWMU.CO – Begitu hasil quick count (QC) diumumkan di televisi, Rabu (17/4/19) sekitar pukul 15.10 WIB, ada dua reaksi publik yang kontras. Yang jagonya menang langsung eforia, bersuka cita, tertawa, bersorak. Saking eforianya mereka bersikap layaknya keburu jongkok padahal pintu toilet belum dibuka.
Secara psikologis, orang yang dilanda mabuk eforia akan mengidentifikasi betapa dirinya sangat hebat layaknya kecoa yang merasa dirinya macan. Sangat penting dan berarti layaknya serpih kayu tetapi merasa menjadi blandar. Merasa dirinya superhero.
Sering kali berlaku lajak seperti sedang kalap. Bertingkah justru untuk menyakiti, mengejek mereka yang kalah. Sudah tidak ada lagi tenggang rasa bagaimana jika dirinya di pihak yang kalah. Padahal bintang pun tidak akan mengejek lawannya yang kalah.
Meskipun pada akhirnya mereka tidak akan dicatat dalam sejarah. Betapa hebatnya para kuli yang membangun Candi Borobudur tetapi sama sekali tidak dikenal sejarah. Yang dikenal cuma raja yang mendirikan candi itu yaitu trah Mataram kuno. Betapa hebatnya para prajurit Mongol yang mengantar Jenghis Khan menguasai sepertiga dunia, tetapi yang dikenal sejarah hanya Jenghis Khan beserta beberapa panglimanya seperti Hulagu Khan.
Ya begitu suratan nasib relawan, tim sukses, penggembira. Paling-paling dirinya sendiri yang mengenang. Biasanya dibumbui yang macam-macam biar tambah keren bin seru. Bahkan eforia kegembiraan itu berbalik menjadi kecewa ketika ternyata tidak direken sama sekali layaknya tukang dorong mobil mogok, setelah mobil jalan ditinggal bahkan sempat diludahi.
Adapun yang kalah kaget bukan kepalang layaknya mendengar petir di siang bolong. Mereka tidak percaya jagonya kalah. Mereka melakukan penyangkalan. Suasana kebatinannya campur baur, sedih, galau, marah. Sampai rasanya ingin menendang televisi yang menyiarkan hasil QC tersebut. Untungnya masih sadar karena itu televisi kreditan sendiri yang belum lunas.
Sikap kontras itu dari individu-individu kemudian berkumpul dengan senasib. Yang eforia jadi eforia kolektif. Berpesta pora. Saling tepuk telapak tangan. Berangkulan. Ketawa-ketiwi. Yang sedih jadi grup paduan lagu simfoni lara. Ketika bertemu sama-sama tertunduk layaknya bunga putri malu tersentuh tungkak. Yang dilakukan lebih saling curhat.
Jika saja kedua kelompok ini ditempatkan di satu ruangan, suasananya akan mirip dengan final Piala Dunia Rusia 2018 lalu. Sang juara Perancis eforia, bersorak, tertawa, bergembira menenteng piala. Sementara Kroasia yang kalah tertunduk sedih campur malu, melangkah gontai seperti hewan mentok ambeien, ditambah dengan air mata meleleh layaknya es loli kepanasan.
Setelah bangun tidur, yang menang maupun yang kalah segera sadar bahwa hasil pilpres belum final. Hasil yang sekarang ini masih menurut QC. Yang namanya QC itu bukan hasil sesungguhnya karena di situ ada margin error. QC itu hanya bahan untuk membuat prediksi awal. Bukan untuk membuat kesimpulan. Hasil sah pilpres masih menunggu tanggal 22 Mei 2019 berdasar real count KPU.
Di tahap ini memang masih ada penyangkalan. Bagi yang eforia, penyangkalannya meski belum final tapi QC biasanya benar. Minimal 90 persen. Sementara yang kalah, penyangkalan berbentuk lembaga QC setting-an, menyebar kebohongan.
Tapi diperkirakan beberapa hari lagi, babak penyangkalan ini akan hilang kecuali kalau televisi memanas-manasi terus. Dalam banyak hal, media televisi maupun media lain, itu seperti kompor demi mengejar rating dan iklan.
Pakem Allah
Bagi insan yang beriman segera mengembalikan peristiwa politik kekuasaan semua itu kepada Allah. Dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 26 difirmankan: “Katakanlah, wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Karena kalah menang itu sudah menjadi pakem Allah. Sunatullah. Secara khusus disebut sunnatu at-tadaawul (sunnatullah dalam hal pergantian giliran kepemimpinan).
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
”Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” (Ali Imran ayat 140)
Pergantian kepemimpinan di Indonesia juga tidak lepas dari sunnatu at tadaawul tersebut. Bung Karno menjadi presiden 20 tahun, Pak Harto 32 tahun, Habibie hampir 2 tahun, Gus Dur 2 tahun, Mega 3 tahun, SBY 10 tahun. Jika Jokowi menang berarti diberi dua periode (tidak berani bilang 10 tahun karena umur manusia menjadi rahasia Allah). Jika ternyata Prabowo yang menang berarti dia mendapat jatah giliran dari Allah.
Sunnatu at tadaawul ini sebenarnya juga bagian dari sunnatullah bahwa hidup ini memang bergiliran atau bergantian. Tidak ada yang kita miliki selamanya. Rumah yang kita tempati suatu saat akan ditempati orang lain. Duit yang kita pegang pagi, siangnya sudah ganti di tangan kasir pegadaian. Bahkan bojo itu terkadang juga bergantian. Maksudnya setelah suaminya meninggal, si janda menikah lagi dengan orang lain. Nah, itu artinya bojo juga bergantian.
Dengan kesadaran keimanan yang demikian, maka yang eforia maupun yang sedih akan segera tenang kembali ibarat gelombang laut yang mulai tenang. Airnya kembali jernih. Semua akan kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
“Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al Isra ayat 84).
Yang guru kembali mengajar. Yang tani kembali ke sawah ladang. Yang ustad kembali menyampaikan ilmu. Yang dokter kembali mengurus orang sakit.
Kembali merajut hubungan sosial yang harmonis. Yang menjadi pijakan adalah Alhujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Secara khusus sesama orang beriman, kembali menjalin sebagai ikhwah atau saudara.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Alhujurat ayat 10).
Biarlah Pilpres ini mengalir sesuai dengan jalurnya. Semua harus menjaga ukhuwah. Baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Pilpres itu hanya lima tahunan di mana yang menang dan kalah pasti akan digilir oleh Allah. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.