Anies dan Buku yang Berbicara, kolom ditulis oleh Ady Amar, pecinta buku; pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Ahad (22/11/2020) pagi itu, Anies Baswedan mengunggah foto diri di media sosialnya, Facebook dan Twitter, dalam suasana menikmati hari libur. Di tangannya sebuah buku sedang dibacanya. Mimiknya tampak serius dalam membacanya.
Sapanya, “Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi.” Tidak ada perkataan lainnya. Hal biasa saling sapa antarkomunitas.
Anies duduk di kursi dengan baju putih lengan pendek dan memakai sarung, tampak santai. Dengan latar belakang rak buku yang berjejer rapi, meja panjang di atasnya tertata rapi foto-foto, dan kaligrafi yang menempel di dinding bercat putih.
Menjadi menarik, itu buku yang dibacanya dengan judul mencolok, How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Buku karya Prof Steven Levitsky dan Prof Daniel Ziblatt.
Menggelitik banyak pihak, bahwa yang dipilih untuk dibaca pagi itu oleh Anies adalah buku yang berbicara tentang munculnya pemimpin di dunia, yang lahir dari proses demokrasi (pilpres), tetapi lalu dalam perjalanan kepemimpinan dan kekuasaannya berubah menjadi otoriter.
Di Twitter, unggahan Anies itu sempat menjadi trending topic, berjudul “How Democracies Die”.
Buku yang disodorkan Anies itu, bukan buku benar-benar baru. Buku yang terbit awal 2018. Bisa jadi Anies baru sempat membacanya. Membaca buku tertentu menjadi nikmat jika topik buku yang dibaca sedang dibutuhkan.
Yang diunggah Anies itu sebenarnya hal biasa. Bisa jadi, secara kebetulan, ia tengah asyik dengan buku itu, dan lalu mengabarkan pada khalayak lebih luas, bahwa ada buku baik karya Profesor Harvard. Dan jika lalu muncul apresiasi dan atau komentar tidak mengenakkan atas apa yang diunggahnya, itu hal lazim.
Tidak tahu persis mengapa Anies mengunggah foto buku dimaksud. Maka tafsir bisa macam-macam dikembangkan, simbol-simbol pun menyertainya. Bahkan spekulasi pun bermunculan, dan lalu komentar yang suka dan tidak suka akan bertaburan.
Sejarawan JJ Rizal, salah satu yang mengapresiasi “lagak” Anies pada materi buku yang dibacanya, dan berharap para pejabat lain mencontohnya. Tapi yang antipati, dan ini memang pribadi yang memilih selalu apa yang dilakukan Anies selaku Gubernur DKI Jaya itu, tidak ada baiknya.
Ferdinand Hutahaean di akun Twitter-nya mengomentari unggahan Anies itu, “Bacaanmu bagus Pak Gub. Demokrasi mati salah satunya karena politik identitas, jualan Tuhan, surga, ayat, dan mayat,” katanya, seperti dikutip Pikiran Rakyat-Bekasi.com.
Pastinya Ferdinand, mantan politisi Partai Demokrat ini, tidak membaca buku yang diunggah Anies itu, lalu hanya menyimpulkan apa yang ada di benaknya.
Ada lagi Yunarto Wijaya, konsultan politik, “Pakgub lagi belajar cara membuat demokrasi mati? Mending urusin pengerukan sungai pak, mulai hujan mulu…,” cuitnya.
Yunarto Wijaya salah fokus, sehingga komentarnya tidak jeli. Anies kan juga butuh refreshing di hari liburnya, dan itu dengan membaca buku. Ada yang salah?
Buku yang Berbicara
Seorang kawan sudah mengirimkan e-book How Democracies Die setahunan lalu pada grup diskusi WhatsApp. Buku setebal 341 halaman itu karya dua profesor yang menulisnya lebih dari 20 tahun.
Buku itu menarik karena membincang kematian demokrasi, disebabkan munculnya pemimpin otoriter. Dengan ciri menoleransi dan bahkan mengerahkan kekuasaan, menolak aturan demokrasi, membatasi media, kebebasan sipil, dan menolak munculnya kelompok kritis.
Buku itu juga menyinggung pemilu di Amerika Serikat pada 2016, dan mengulas dua tahun setelah Trump terpilih. Tidak itu saja, penulis mengingatkan ancaman kematian demokrasi, dengan mengambil kasus pada sejumlah negara.
Jika Anies membaca buku itu, dan lalu mengunggahnya tampak demonstratif, maka jika ada yang tersengat itu sah-sah saja. Merasa bahwa demokrasi sedang tidak dijalankan sebagaimana yang seharusnya.
Dan jika buku yang diunggahnya itu lalu berbicara, mewakili kondisi sebenarnya, dan lalu direspons dengan gempita, rasa ikut merasakan shahih-nya isi buku sesuai kondisi politik yang ada.
Ada ungkapan menarik dari Steven Levitsky, yang menjelaskan isi buku:
“Institusi menjadi senjata politik, digunakan secara paksa oleh mereka yang berkuasa melawan kelompok yang tidak berkuasa. Begitulah cara otokrat tampil meruntuhkan demokrasi, memenuhi dan ‘mempersenjatai’ peradilan dan badan negara netral lainnya, membeli media dan sektor swasta (atau menekan mereka untuk diam), dan menulis ulang aturan main politik agar membuat arena pertandingan jadi tak adil bagi lawan.”
Itulah cara kerja pemimpin yang lahir dari proses demokrasi (pilpres)–bukan pemimpin yang dihadirkan oleh proses kudeta–tapi setelah terpilih lalu pelan-pelan demokrasi dihantar pada apa yang dikehendaki. Pelan-pelan menjadi otoriter, bersamaan dengan itu seluruh perangkat negara dikendalikan dengan aturan semu: membunuh demokrasi pelan-pelan.
Buku yang baik ini menjadi makin menarik dan berbicara, karena seorang Anies yang mengunggahnya. Jika saja bukan Anies yang mengunggah buku itu, maka belum tentu tercipta “kegaduhan” tersendiri.
Bisa jadi Anies memang sedang mengirim simbol, dan itu sah-sah saja. Wallahu a’lam. (*)