Kecelakaan Kijang Biru, di Antara Badarku dan Hajiku; Kisah Nyata oleh Handayani, dokter dan dosen; tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Di sebuah siang. Di tengah-tengah puasa Ramadhan pada 1996. Di Kota Padang, Sumatera Barat.
Blaaaarrrrrr! Di manakah aku berada? Kepalaku terasa sakit. Aku merasa antara sadar dan tidak. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Semuanya terasa asing dan aneh. Ada orang-orang yang tidak kukenal. Ada suara-suara yang tidak sepenuhnya jelas kudengar.
Kemudian aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Aku berusaha menjawab, tetapi aku tidak tahu apa suaraku bisa didengar ataukah tidak.
Aku terus berusaha mengingat apa yang terjadi. Terdengar suara-suara, seperti ada beberapa orang sibuk, mengurusku.
“Bawa ke rumah sakit segera,” seseorang berkata demikian. Lalu, ada yang menelepon, minta ambulans. Juga, ada beberapa yang mengurus kedua anakku yang aku tidak bisa melihatnya. Pun, aku tidak tahu bagaimana keadaannya.
“Bagaimana anak saya Pak,” tanyaku dengan suara yang lemah kepada seseorang di dekatku.
Aku tidak bisa melihat apa-apa.Sepertinya banyak orang berseliweran dan juga ada yang bertanya beberapa hal. Sebagian bisa kujawab, sebagian juga tidak. Kesadaranku masih lemah.
“Anak ibu yang perempuan tidak apa-apa, hanya sedikit terluka,” terdengar seseorang berusaha memberikan informasi.
“Mama, Mama,” kudengar suara anak perempuanku Chodijah dan biasa kami panggil Mbak Tyas.
Dia menggoyang-goyang tanganku, sambil berkata: “Mama, kepala Mama berdarah banyak sekali!” Anakku berkata demikian sambil menangis ketakutan.
Kulihat di pelipis anakku juga ada luka berdarah. “Ya Allah, kepala Mbak Tyas juga berdarah, Nak,” seruku.
Aku masih belum mengerti apa yang telah terjadi. Kesadaranku masih hilang-timbul. Terdengar suara-suara orang ramai, sebagian tidak bisa kutangkap. Sebagian juga seperti suara-suara yang tidak jelas.
“Kita kecelakaan, Mama,” kata Mbak Tyas putri sulungku yang masih kelas I SD berusaha memberikan penjelasan, sambil terus menangis pilu.
Tentu saja anakku yang masih berusia enam tahun merasa syok. Dia sedih dan takut mengalami kejadian yang mengerikan itu.
“Bagaimana Mas Badar, ya Sayang,” tanyaku atas kondisi anak keduaku yang biasa kami panggil Mas Badar.
“Mbak Tyas tidak tahu, Mama. Orang-orang masih berusaha menolong Mas Badar. Sepertinya Mas belum sadar, Mama,” jawab putriku dengan terbata-bata.
***
Kuingat-ingat terakhir aku mengemudikan mobil Kijang biru tahun 1980-an, bersama kedua anakku. Waktu itu siang hari, pulang dari kampus tempatku bekerja dan menjemput kedua anakku.
Anak pertama Tyas kelas I SD, sekolahnya di dekat Pantai Padang. Anak kedua laki laki namanya Badar, masih sekolah TK di daerah Seberang Padang.
Ada lagi anakku yang ketiga, laki-laki usia dua tahun, bernama Galih. Oleh karena belum bersekolah lebih sering kutinggalkan di rumah. Hanya sesekali aku ajak juga ke kantor. Beruntung, hari itu Galih tidak aku bawa ikut, sehingga tidak mengalami kecelakaan yangg menimpa kami bertiga.
***
Aku penasaran dan teringat anakku, Badar. Sebelum kecelakaan, terakhir posisinya berdiri di dekatku mengemudi. Sepertinya dia akan mengambil sesuatu.
“Anak Ibu yang laki-laki, kondisinya tidak sadar,” kata seseorang yang dekat denganku.
“Ya Allah, apa yang telah terjadi ya,” pikirku sambil berusaha mengingat-ingat lagi. Kejadian apa saja yang kualami. Beberapa ingatan muncul berseliweran.
***
Siang itu aku mengemudikan mobil Kijang biru, mobil satu-satunya yang kami punya. Rutenya, dari Kota Padang ke arah Bukit Indarung. Jaraknya sekitar 14 km. Perjalanan pulang biasanya dapat kutempuh dalam waktu 30 sampai 45 menit.
Ketika itu sudah melewati pasar di daerah Bandar Buat. Berarti tersisa 7 km atau sekitar 15 sampai 20 menit lagi kami akan sampai di rumah dan lalu bisa beristirahat. Anak-anak mengeluh kepanasan, mungkin AC mobil perlu diperbaiki.
Di tanjakan di daerah Padang Besi aku merasa agak mengantuk. Maklum, kondisi sedang berpuasa Ramadhan. Terlebih lagi, malam sebelumnya, keluarga kami jadi tuan rumah pengajian bulanan bersama tetangga komplek kami. Acara itu di laksanakan sekalian untuk peringatan Nuzulul Quran. Alhamdulillah acaranya sukses, banyak tetangga yang hadir.
Jadi, memang ada beberapa hal yang memengaruhi kondisi fisikku, seperti badan yang lelah mengurus acara di rumah dan kurang tidur. Juga, karena kondisi sedang berpuasa.
Mengingat kondisiku yang seperti itu, sebenarnya, pada pagi hari saat aku bersiap-siap berangkat suami sempat mengusulkan: “Mama kan lelah dan semalam kurang tidur, bagaimana kalua hari ini tak usah masuk kerja dulu? Anak-anak juga bisa izin sehari.”
“Mama merasa sangat segar kok. Tidak apa-apa pergi kerja, Pa,” jawabku. Entah kenapa aku kurang mendengarkan saran suamiku di pagi hari itu.
***
Saat terasa mengantuk, aku sempat menepikan mobil dan berhenti sebentar di tepi jalan, di bawah bukit. Bercanda-canda dengan anak-anak, berusaha mengusir rasa ngantuk dan bisa konsentrasi lagi.
Sekitar 20 menit kemudian aku memutuskan jalan lagi. Posisi kami sudah dekat, kira kira 2 km lagi sudah masuk komplek perumahan kami. Namun, ternyata perjalanan pulang hari itu tidak membawa kami sampai ke rumah.
***
Seseorang memberitahuku bahwa mobil yang aku kemudikan slip dan menabrak tebing bukit. Mungkin saja karena puasa dan kelelahan. Mungkin juga karena hipoglikemik yaitu kadar gula darah yang rendah sehingga otak kekurangan power, membuatku sempat hilang kesadaran.
Aku merasa tubuh dan jiwaku lemah, tak berdaya. Andaikan saja aku mendengar saran suamiku, mungkin saja kami tidak mengalami musibah ini. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Aku hanya bisa berserah diri kepada Allah. Aku memohon kepada Allah keselamatan untuk diriku dan kedua anakku.
“Ya Allah, ampunilah semua dosa dan kesalahanku. Mohon selamatkanlah diriku dan kedua anakku,” doaku yang disertai istighfar dan bacaan Al-Fatihah.
Tak hanya itu, semua doa yang aku ingat juga kubaca. Dengan itu, saya berharap Allah mengabulkannya.
***
Aku merasakan berada di dalam ambulans dengan bunyi sirene meraung-raung. Mobilitu membawa kami ke UGD rumah sakit perusahaan di Indarung. Suamiku sudah dihubungi dan menemui kami di UGD.
Betapa terkejut dan syoknya suamiku melihat istri dan kedua anaknya, terbaring di UGD. Kami bertiga yang pada pagi hari berpamitan dalam keadaan sehat-bugar dan ceria, ternyata siang itu terkapar di UGD dengan kondisi penuh luka. Anak keduaku, Badar, kondisinya tidak sadarkan diri bahkan sangat mungkin mengalami cedera kepala.
Suamiku memelukku, ingin menguatkanku. Kulihat kesedihan di matanya.
“Maafkan aku ya,” bisikku dengan rasa bersalah.
“Sabar ya Ning. Semoga Allah menyelamatkan semuanya,” bisik suamiku lirih. Dia berusaha menenangkanku.
Dokter jaga UGD memeriksa kami. Mengingat lukaku dan kondisi anak keduaku yang cukup parah, dokter merujuk kami ke rumah sakit di Kota Padang.
Mobil ambulans dengan sirene meraung-raung kembali membawa kami bertiga menuju rumah sakit di Kota Padang. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa duka hatiku menerima cobaan berat ini. Tak pernah terbayangkan, aku seorang ibu yang mestinya menjaga anak-anakku, malah menjadi penyebab cederanya kedua anakku.
Apakah anak keduaku, Badar, akan bisa selamat? Aku hanya bisa berdoa berharap mukjizat dan pertolongan Allah. “Ya Allah, apakah dosa dan kesalahanku, sehingga menerima cobaan berat ini,” sesalku
Aku tidak melihat suamiku. Mungkin suamiku menjaga Badar anak keduaku yang kondisinya paling parah.
Sampai di UGD RSUD Kota Padang, dokter segera menangani kami bertiga. Oleh karena aku seorang dokter dan menjadi dosen di Fakultas Kedokteran, maka teman sejawat berusaha segera memberikan bantuan. Segera dipanggilkan dokter bedah terbaik untuk mengurus kami.
Anak keduaku Badar, tidak sadarkan diri. Hasil foto rontgent ada patah tulang di lengan atas kanan. Berdasar scan kepala, ada cedera kepala ringan. Oleh karena kondisi tidak sadar, Badar dirawat di Intensive Care Unit (ICU).
***
Aku sendiri mengalami luka melintang di dahiku. Sepertinya waktu mobil Kijang biru yang kukemudikan menabrak itu, kepalaku terantuk stir. Lukanya cukup lebar dari dahi kiri sampai kanan. Ada sebagian kulit yang hilang juga.
Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa wajahku nanti setelah sembuh. Dengan bekas luka yang melintang di dahi, kedua alisku mungkin juga tidak bisa pulih karena akan ada bekas jahitan.
Di tengah-tengah dahi bahkan ada kulit yang hilang, cukup lebar. Tentu bekasnya akan terlihat jelek sekali. Bagi seorang wanita muda, kondisi wajahku mungkin bisa membuat frustasi. Namun, apa boleh buat semua sudah terjadi, tak mungkin kita menolak takdir.
Seorang profesor bedah terkenal menjahit lukaku. Beliau mengatakan nanti bisa dioperasi plastik untuk menutup kulit yang hilang. Beliau terus berusaha membesarkan hatiku.
Selain luka di dahi yang membuatku frustasi itu, aku juga merasakan sakit yang sangat di tulang leherku. Profesor bedah kebanggaan di Kota Padang, Prof Kardi, menyampaikan bahwa untuk sementara leherku akan difiksasi dulu dengan gips, menunggu hasil CT scan.
Gips di leher membuatku tidak bisa menggerakkan leher sama sekali. Rasanya leher menjadi kaku dan sama sekali tidak nyaman. Semua dokter khawatir kalau ada tulang leher yang patah. Jika benar, tentu berbahaya sekali.
Dalam duka dan rasa tidak berdaya, segala doa kupanjatkan kepada Allah. Juga, mengucapkan niatku: “Ya Allah, apakah sudah dekat ajalku? Rasanya, masih banyak kewajiban dan tanggung-jawabku yang belum kuselesaikan. Yaa Allah, jika engkau izinkan aku hidup, aku niatkan untuk memenuhi kewajibanku sebagai Muslim melaksaknakan ibadah haji segera. Aku niatkan hidupku untuk mendampingi suamiku. Aku tak ingin suamiku bersedih karenaku. Aku niatkan hidupku untuk merawat dan membersamai ketiga anakku, hingga hingga mereka dewasa dan bisa hidup mandiri.”
Setelah dilakukan CT scan leher, baru kami merasa lega. Ternyata tidak ada tulang leherku yang patah. Leher sakit hanya karena memar saja.
Alhamdulillah, anak pertamaku Tyas hanya mengalami sedikit luka di pelipis kanannya. Luka itu kemudian dijahit dan ditutup. “Insyaallah putri Ibu tidak apa-apa,” demikian penjelasan dokter yang menjahit luka putriku.
Aku merasa sangat bersalah kepada suami dan anak-anakku. Aku merasa hidupku tidak berguna. Bukankah semestinya aku mengurus dan membahagiakan suami, menjaga dan melindungi anak anakku? Tapi apa yang terjadi?
Aku sudah membuat anak-anakku celaka bahkan ada kemungkinan anakku Badar tidak bisa diselamatkan. Dulu, nama Badar kami pilih karena terinspirasi kemenangan terbesar umat Islam dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad Saw. Berharap kelak saat dewasa anak kami bisa mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad Saw dan membawa kejayaan bagi umat Islam.
***
Pada tahun 1996 itu aku bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran di Kota Padang. Sebelumnya, pada tahun 1992 sampai 1995 aku sempat bekerja di Puskesmas Kota Padang, sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT).
Informasi bahwa aku mengalami kecelakaan cepat menyebar kepada teman-temanku, baik teman kantor di Fakultas Kedokteran dan teman yang masih bekerja di puskesmas di Kota Padang. Berita juga menyebar ke teman-teman suamiku.
Alhamdulillah, rasa bersyukur tak terhingga, kami memiliki banyak teman di perantauan. Dengan adanya tiga anggota keluarga sakit alangkah repot suamiku mengurusi semua.
Aku dan suami berasal dari Jawa, tepatnya dari kota Madiun, Jawa Timur. Di Kota Padang kami tidak punya keluarga. Suamiku menunggui anak kedua kami yang dirawat di ICU. Tentu banyak hal yang perlu diurusnya seperti mencari obat, mencari darah dan sebagainya.
Aku dan anak sulungku Tyas ditempatkan di satu kamar. Banyak teman-teman yang mengunjungi, mendoakan, dan membantu kami. Teman-teman dari kantor suamiku yang perempuan bahkan bergiliran menunggui aku dan Tyas. Sungguh terharu dan bersyukur memiliki teman-teman yang luar biasa baiknya kepada kami. Semoga Allah membalas kebaikan semua orang yang telah membantu dan mendoakan kami.
***
Kira-kira dua pekan di ICU anak kami Badar baru menunjukkan kemajuan. Sudah membaik kesadaranya, namun kembali seperti anak bayi. Ditempatkan di tempat tidur satu kamar denganku.
Rasanya sudah agak ringan bebanku. Kondisiku sudah cukup baik, bisa merawat anakku Badar. Suamiku mulai masuk kantor karena sudah lama izin, namun tetap menemani kami di rumah sakit sepulang dari kantor.
Tyas sudah masuk sekolah lagi. Oleh karena aku menunggu Badar di rumah sakit, maka Tyas setiap pagi berangkat sekolah dengan naik bus sekolah. Nanti pulangnya aku jemput ke rumah sakit. Malam hari pulang bersama suami.
Alhamdulillah, di rumah ada adik dan keponakan yang membantu menjaga anak ketiga, Galih, yang masih berusia dua tahun. Sungguh kasihan, di usianya yang seperti itu, aku tidak bisa merawatnya dalam waktu cukup lama. Ini, karena aku tetap harus menjaga Badar di rumah sakit. Untuk memandikan Badar masih dibantu perawat, sedangkan untuk memberikan makan aku sudah bisa melakukannya sendiri.
Tentang anakku Badar, begini profilnya: Di usianya yang masih empat tahun, dia disukai oleh setiap orang yang mengenalnya. Dia tampan, baik, dan sopan. Badar juga suka bersilaturahmi kepada tetangga.
Setiap sore hari sekira pukul 04.00, anak-anak aku biasakan sudah mandi dan berpakaian rapi. Anak laki-laki dengan celana pendek atau atau celana panjang dengan dipadu baju atau kaos yang dimasukkan rapi.
Setelah berpakaian rapi Badar biasanya naik sepeda roda tiga di jalanan komplek, mengunjungi beberapa teman mainnya. Menjelang maghrib Badar sudah pulang dan bersiap untuk ikut bapaknya shalat maghrib ke mushala di dekat rumah.
Kembali ke rumah sakit. Pagi hari setelah perawat memandikan Badar, aku memberikan makan dengan menyuapkan makanan menggunakan sendok. Waktu itu dia sudah bisa bergerak, miring ke kanan dan ke kiri, juga bergeser.
Perawat berpesan untuk menjaga supaya pagar tempat tidur tetap terkunci. Namun, entah bagaimana, saat sedang memberikan makan itu aku membuka pagarnya supaya bisa duduk di tepi ranjang. Saat itu, aku berpikir bisa menjaga anakku.
Dalam keadaan pagar tempat tidur yang terbuka itu, qadarullah, aku perlu mengambil sesuatu yang terletak agak jauh. Sesaat saja aku bergerak turun dari tempat tidur, tiba tiba terdengar bunyi yang mengejutkan, gubraaakk.
Saat aku berbalik, kulihat anakku Badar terjatuh dari tempat tidurnya. Aku tentu saja panik dan berteriak, “Suster, Suster, tolooong!”
Berulang-ulang aku berteriak meminta pertolongan. Beberapa suster segera datang. Semua bingung dan bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku juga bingung harus menjawab apa.
“Yaa Allah, ampunilah aku, ampunilah kecerobohanku, ampunilah kesombonganku. Selamatkanlah anakku Badar, yaa Allah,” kembali lisanku mengucap istighfar dan membaca segala doa yang aku bisa.
Rasa bersalahku tak terkira, ”Bagaimana aku harus menyampaikan kabar ini kepada suamiku,” pikirku kalut.
Aku harus segera mengabarkan kepada suami yang saat itu sudah mulai aktif masuk kantor. Aku lalu mengabarkan berita buruk itu melalui telepon.
Tentu saja suamiku terkejut dan mungkin juga ingin marah. “Mama bagaimana menjaganya, kok bisa sampai anak terjatuh,” tanya suamiku menyesaliku.
Aku tidak berani menjawab, lidahku terasa kelu, tak bisa berucap. “Maafkan, maafkan Mama ya,” hanya itu yang bisa aku ucapkan dengan rasa bersalah yang sangat.
Selanjutnya dokter segera mengevaluasi lagi, kondisi anakku Badar. Aku menunggui anakku untuk pemeriksaan CT Scan kepala. Segala doa mengiringinya. Aku begitu sedih dan punya perasaan bersalah.
Malam hari hasil CT scan kepala menyebutkan adanya perdarahan pada selaput otak ‘epidural hematom’. Kondisi ini membuat kesadaran anakku Badar menurun lagi, koma.
Dokter bedah syaraf menyampaikan bahwa anakku Badar perlu dioperasi segera untuk mengeluarkan darah yang menumpuk. Dokter bedah syaraf itu merupakan satu-satunya di Kota Padang. Dokter Sanni, nama dia, segera melakukan operasi dengan membuka tempurung kepala Badar untuk mengeluarkan darah yang menumpuk dan bisa menekan otak.
Aku dan suami menunggui operasi dengan perasaan yang campur-aduk, tidak karuan. Ada beberapa sahabat baik yang datang untuk memberikan semangat kepada kami. Namun, jujur, kami seperti tidak bisa merasakan lagi. Hal yang ada, sedih dan duka yang amat sangat dalam.
Setelah berlangsung hampir dua jam, kami mendapat kabar bahwa operasi sudah berhasil dan anakku Badar kembali masuk ICU. Berhari-hari aku dan suami menunggu, namun anakku masih belum sadar juga, masih koma.
Salah satu teman baikku, Rara temanku saat masih bekerja sebagai dokter PTT di Kota Padang, menanyakan tentang anakku Badar. “Entah bagaimana kondisi Badar ya Rara, kabar terakhir masih belum sadarkan diri. Mohon doa ya, aku tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi cobaan berat ini. Hanya bisa berharap mukjizat pertolongan Allah. Semoga Badar bisa sadar dan sembuh lagi,” jawabku dengan rasa duka yang mendalam.
Tak kusangka temanku ini bukan hanya menghibur tetapi juga memberikan kalimat yang sangat bijak. “Mbak Yani bersabar ya. Semua ujian yang Allah berikan tentu sudah diatur sesuai kemampuan dan keimanan kita. Mbak harus kuat ya, masih ada suami dan dua anak lain yang membutuhkan Mbak,” demikian serangkain kalimat yang sangat menyentuh dan memberikan pencerahan bagiku. Selalu kuingat hingga saat ini.
Setelah hampir empat pekan dirawat di ICU dalam keadaan koma, akhirnya Badar membaik kesadarannya. Alhamdulillah setelah dirawat di ruangan lagi sekira tiga pekan, kemudian diizinkan pulang ke rumah.
***
Sekitar dua bulan aku menunggui anakku Badar di rumah sakit. Meski dibolehkan pulang, kondisi anakku masih lemah. Dia baru belajar berdiri dan berjalan, juga berbicara lagi, seperti anak bayi.
Agak susah kami mengatur bagaimana kamar tidur yang aman supaya Badar tidak terjatuh atau terbentur. Bagaimana juga membagi perhatian untuk anakku Galih yang berusia lebih kecil. Rasanya aku tidak ingin lagi kembali bekerja, ingin mengurus Badar dan Galih. Ini, karena khawatir kalau terjadi sesuatu terhadap mereka.
Sampai tiga bulan aku tidak ke kampus sama sekali. Atas hal itu, saya mendapat catatan dari Kepala Bagian Farmakologi, diminta mengajukan cuti atau izin agar ada catatan kepegawaian.
Mobil Kijang biru kami sudah diperbaiki di bengkel. Meski cukup parah kerusakannya, namun setelah diperbaiki terlihat bagus dan seperti baru lagi.
Beberapa waktu aku tidak berani mengemudikan mobil, trauma. Aku juga tidak ingin lagi melihat mobil Kijang biru itu ada di garasi rumahku. Terkait itu, aku minta kepada suamiku agar mobil Kijang biru dijual saja.
Dengan hati-hati aku menyampaikan kepada suamiku, niatku untuk pergi haji jika diberikan kesempatan hidup agar terpenuhi rukun Islam ke-5. Niatku tidak bisa ditawar lagi, aku harus mendaftar haji tahun ini. Pengalaman kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku dan anakku Badar sudah cukup untuk membuatku merasa betapa tidak berarti dan tidak sebanding, semua yang kami miliki jika dibandingkan dengan keberangkatan memenuhi panggilan Allah.
Mau ditunda sampai kapankah? Ini, karena waktu hidupku adalah pemberian Allah, “bonus”. Aku tidak tahu sampai kapankah waktuku, waktu kami.
Jika saja berkemampuan, aku ingin juga mengajak kedua orangtua dan mertua, serta semua anak-anak kami memenuhi panggilan-Nya. Namun, karena kondisi kami rasanya belum memungkinkan, maka biarlah sementara kami berdua dulu. Semoga Allah mengizinkan untuk selanjutnya kedua orangtua dan mertua untuk bisa memenuhi panggilan-Nya juga.
Agak lama suami memikirkan niatku tersebut. Sebenarnya suami belum ada niat pergi haji, karena keuangan kami juga masih pas-pasan. Dari mana mendapat dana untuk ongkos naik haji (ONH). Pada tahun itu mungkin 6 atau 7 juta per orang (angka tepanya, maaf, saya lupa). Hal yang jelas, angka itu cukup mahal bagi kami.
Namun, niat untuk berangkat haji sudah bulat, tidak bisa ditawar lagi. Aku juga dengan sungguh-sungguh memohon agar suamiku bersedia untuk mendampingiku, memenuhi panggilan Allah.
“Oleh karena aku wanita, jadi harus berangkat bersama muhrimku,” bujukku kepada suamiku.
“Kalau aku berangkat sendiri nanti akan dimuhrimkan dengan pria lain. Aku tidak mau dan tidak rela dimuhrimkan dengan orang lain,” lanjutku yang bukan tak mungkin membuat suamiku cemburu.
”Baiklah, aku akan menyertaimu. Semoga Allah memberikan kemudahan,” respons suamiku.
Alhamdulillah! Akhirnya suamiku bersedia.
***
Dengan hati yang mungkin berat suamiku akhirnya mengizinkan mobil Kijang biru kebanggaannya dijual. Juga, bersedia “menemani” saya berhaji (menurut bahasa suamiku, dia “mengantarkan” aku behaji).
Hasil penjualan mobil Kijang biru inilah yang kami gunakan untuk membayar biaya haji berdua. Juga, masih ada kelebihan sedikit dan kami belikan mobil bekas yang lebih murah untuk sarana transportasi kami selanjutnya.
Alhamdulillah, pada tahun 1996-1997 mengurus ibadah haji masih cukup mudah. Sekitar bulan Juli 1996 ada pengumuman pembukaan pendaftaran bagi masyarakat yang hendak melaksanakan ibadah haji.
Kamipun mendaftar. Selanjutnya proses persiapan kesehatan dan manasik. Bulan April 1997 kami sudah bisa berangkat haji.
Mengingat anak-anak masih kecil-kecil, sebenarnya aku berat meninggalkan mereka dalam pengasuhan adik dan keponakan. Tapi, alhamdulillah, ada juga ayah mertua yang khusus kami datangkan dari Jawa.
Aku berat, terlebih karena kondisi Badar yang masih belum bisa pulih seperti sedia kala. Badar, meskipun sudah cukup baik untuk berjalan, namun penglihatannya terganggu sehingga dalam banyak hal perlu dibantu.
Juga, yang saya pikirkan, Galih anak ketigaku yang berusia 2 tahun. Dia sangat susah untuk makan, sehingga badannya kurus. Dia juga suka berlari-lari. Terkadang juga menaiki sepeda ngebut-ngebut, sehingga sering membuatku khawatir.
Di masjid saat shalat safar sebelum masuk Asrama Haji Kota Padang, tak kuasa aku membendung linangan air mata. Terasa sedihku meninggalkan ketiga anakku, buah hati dan cahaya mataku.
Ya Allah yaa Robbi, Engkau Maha Kuasa dan Maha Pelindung serta Maha Penjaga. Kumohon perlindungan-Mu untukku dan suamiku selama perjalanan hingga pulang nanti dengan selamat. Mohon perlindungan dan penjagaan-Mu untuk anak-anakku, serta semua yang kutinggalkan.
Yaa Allah yang Maha Penjaga. Mohon Engkau berikan kesabaran dan keikhalasan kami terhadap semua kejadian yang menimpaku, yang tentunya semua adalah kehendak dan takdir-Mu karena kasih sayang-Mu kepada kami.
Mohon Engkau terima ibadah haji kami dan gantilah apa yang telah kami korbankan untuk memenuhi panggilan-Mu dengan pengganti yang lebih baik. Aamiin, aamiin Yaa Robbal ‘Alamin.
Alhamdulillah, perjalanan haji kami cukup lancar. Kami pulang dengan selamat. Betapa bersyukur dan bahagia rasanya bertemu lagi dengan ketiga buah hatiku.
***
Saat ini, di tahun 2022, putri sulungku Chodijah (Tyas) telah bekerja. Dia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki.
Anak keduaku, Badar, pada akhirnya dipanggil menghadap Allah di usianya yang ke-15, yaitu pada tahun 2007. Itu, setelah sempat dilakukan operasi karena tumor otak.
Seolah anak keduaku tersebut titipan Allah yang istimewa. Aku dan suami merasa bersyukur telah diberikan tambahan waktu untuk membersamainya hingga di usia 15 tahun.
Sejak peristiwa tersebut, aku dan suami menjadi terkenal. Suamiku bahkan kemudian mendapatkan promosi jabatan di berbagai posisi, hingga menduduki jabatan tertinggi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Sekaitan ini, seorang ibu mengatakan, “Ananda Badar telah selesai tugasnya, mengantarkan ayahnya hingga di puncak karirnya.” Semoga Allah merahmati Badar dan menjaganya di dalam surga.
Anak ketigaku, Galih, sudah lulus sebagai Sarjana Ekonomi. Dia mendapat pekerjaan di perusahaan swasta.
Kami juga mendapat bonus satu orang anak lagi, perempuan. Dia sekarang kuliah di Fakultas Kedokteran di Surabaya.
***
Banyak kisah suka dan duka dalam kehidupan kita. Jika direnungkan dengan hati jernih dan tawakal serta selalu dengan prasangka baik kepada Allah, semua penuh dengan kasih-sayang dan pembelajaran bagi kita. Misal, seandainya saja aku mengikuti anjuran suami untuk tidak masuk kerja pada hari naas tersebut, mungkin saja kami bertiga tidak mengalami kecelakaan fatal.
Pelajaran lain, lewat peristiwa tersebut, telah mendorong aku dan suamiku untuk segera melaksanakan ibadah haji. Juga, mendapatkan banyak keberkahan dalam kehidupan kami selanjutnya. Alhamdulillah ‘ala kulli haal. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni