PWMU.CO – Keadilan sosial yang menjadi salah satu cita-cita pendirian Indonesia, masih sangat jauh dari umat Islam yang menjadi mayoritas di republik ini. Alih-alih menjadi pemain utama di negeri sendiri, umat Islam Indonesia justru merasa terpuruk, tertekan, dan tertuduh di negerinya sendiri.
Demikian salah satu inti ceramah yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din Syamsuddin, dalam Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Jelang Tanwir Muhammadiyah 2017, di Aula Mas Mansur Gedung PWM Jatim, (11/2). “Terpuruk karena kita rasakan dan alami, dan orang lain juga harus mengakui karena berbagai indikator juga mendukung masalah ini,” jelas Din.
Salah satu indikator dalam bidang ekonomi tentang keterpurukan umat Islam yang dikemukakan oleh Din adalah data tentang kepemilikan aset nasional. Bukan karena hasil pembelian, bahkan penguasaan itu kebanyakan karena pemberian negara.
“Masak 1 persen rakyat Indonesia menguasai 50 persen aset nasional,” papar Din tentang penguasaan aset nasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara 1 persen itu mayoritas mutlak bukanlah warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Kondisi ini, aku Din, memang telah berjalan sejak Orde Baru. Namun, kejatuhan Presiden Soeharto itu ternyata tidak menjadikan ekonomi umat Islam menjadi lebih baik. “Di akhir Orde Baru, rasio gini adalah 0,31. Artinya, ada 1 persen warga negara yang menguasai kuasai 31 persen aset nasional,” jelas Din.
Bukannya berkurang, selama 4 pergantian presiden setelah Soeharto, ketimpangan itu justru meningkat dengan membesarnya angka rasio gini. “Sekarang 0,41. Artinya 1 persen menguasai 41 persen aset nasional.”
“Masak para taipan yang jumlahnya sedikit itu menguasai 200 juta hektar, yang 143 juta hektar berbentuk tanah,” kata Din lagi. “Bahkan ada seorang taipan mempunyai 1,3 hektar. Itu panglima TNI juga pernah mengeksposnya di publik,” jelas Din memperkuat apa yang pernah disampaikan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, beberapa waktu lalu.
“Belum lagi yang dikuasai oleh pembelian,” jelas Din tentang data mengerikan tentang penguasaan tanah ini. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini pun mengajak para pimpinan Muhammadiyah tingkat Kabupaten se-Jatim.
Mulai dari daerah Ungaran di Kabupaten Semarang, Kaliurang Yogyakarta, Tawangmangu Karanganyar, Tretes Pasuruan, hingga Batu, untuk mencari tahu siapa pemilik lahan itu. “Semuanya, termasuk di luar Jawa, dikuasai oleh orang lain,” jelas Din.
Din pun lantas bercerita saat meresmikan Pertanian Terpadu di Desa Piyungan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, saat masih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Di sepanjang jalan menuju lokasi pertanian binaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah itu, banyak berhamparan sawah.
Oleh para penjemputnya, Din diberi tahu jika sawah-sawah itu sudah dibeli dan dikuasai oleh orang lain, tepatnya oleh sebuah gereja. “Sawah-sawah itu diserahkan ke penduduk untuk mengelolanya, tentu dengan segala efeknya,” kata Din.
“Jadi, keterpurukan ini sudah sangat jelas,” jelas Din tentang kondisi umat Islam. Karena itu, kata Din, dakwah umat Islam memang harus menyentuh infrastuktur negara sebagai salah satu akar masalah keadilan sosial ini. Dan, itu pula alasan kenapa Muhammadiyah selalu gigih melakukan judial review (uji materi) berbagai undang-undang yang melenceng dari khittah pendirian Republik ini. (paradis)