PWMU.CO – Irwan menulis opini Epidemi Post-Truth di sebuah harian nasional. Dia membuat kesejajaran apa yang terjadi dalam Pilpres 2019 Indonesia dengan peristiwa Brexit dan kemunculan Trump dalam jagat politik AS. Lalu menyebut Cambridge Analytica yang berhasil mengolah big data medsos menjadi semacam kampanye terselubung untuk memenangkan Trump dan Brexit. Namun perlu dicatat tuduhan bahwa Trump bekerjasama dengan konsultan Rusia tidak terbukti oleh penyelidikan Bob Mueller.
Secara implisit Irwan memposisikan Prabowo sama dengan Trump, sambil mengkhawatirkan kemenangan Prabowo sebagai fenomena kebangkitan Trump dengan narasi ultranasionalisnya: “Making America Great Again“. Seolah Prabowo menggunakan semua propaganda ala Cambridge Analytica untuk mengalahkan Jokowi yang dijadikan Hillary-nya Indonesia.
Kesalahan Irwan di sini. Yang dicoba dilakukan oleh TKN adalah aplikasi teori post-truth-nya Burhanuddin Muhtadi untuk memenangkan Jokowi. Dan Jokowi adalah petahana, seperti Hillary adalah “petahana” partai Demokrat. Kemudian yang dilakukan sebenarnya adalah teori “post-lie” karena inilah yang sebenarnya terjadi: menyebarluaskan kebohongan sambil menyembunyikan kebenaran.
Misalnya mengatakan Prabowo pro-khilafah sementara khilafah mengancam Pancasila, padahal Pancasila sudah dibunuh oleh neoliberalisme dan neokapitalisme serta neokomunisme. Lalu mengatakan secara pre-emptive bahwa Jokowi menang melalui quick count padahal pemenang Pilpresnya belum jelas. Deklarasi kemenangan Prabowo adalah upayanya untuk tetap menyemangati pendukungnya agar tidak menyerah sebelum pertempuran selesai.
Dalam zaman fitnah ini, dusta biasa—mengatakan Prabowo penjahat HAM— mudah ditolak publik. Dusta yang sangat berbahaya adalah menyembunyikan kebenaran dari publik.
Vienna, 23 April 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.