Amplop Impian; Oleh Hasan Bisri BFC; Jurnalis tinggal di Bogor.
PWMU.CO – Pagi itu, di 2008, saya siap-siap berangkat menuju lokasi hajatan besar salah satu direktur di perusahaan saya. Saya siapkan jas blazer hitam sehingga kesannya setengah resmi.
Maklum, ini hajatan yang bakal dihadiri orang-orang besar dan penting. Namun tidak formal karena di luar kantor dan di akhir pekan pula.
Blazer saya lipat rapi dan saya masukkan tas. Maklum, perjalanannya menggunakan tiga kali pindah angkot sampai kantor. Lalu disambung dengan taksi. Jangan sampai, blazer yang sudah licin menjadi kusut. Ini acara hajatan orang penting dan dihadiri orang -orang penting pula, Bro.
Kisah itu
Alkisah, ketika salah satu direktur memanggil saya, saya langsung gegas menghadapnya. Beliau beda direktorat dengan saya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Saya ada hajatan. Kamu yang mimpin doa ya,” pintanya.
“Kalau boleh tahu, dalam rangka apa, Pak?”
Pak Brata, sebut saja begitu, menyampaikan bahwa beliau akan dipindahtugaskan ke Macau selama beberapa tahun. Membuka cabang unit bisnis baru. Beliau bersama istri dan anak–anaknya. Setelah beliau menyebutkan kapan acara dan lokasi serta kalangan mana yang diundang, kemudian saya pamit.
“Insya Allah saya siap, Pak,” jawab saya sambil menyalami tangan beliau.
Keluar ruangan Pak Brata, saya senyum–senyum sendiri. Membayangkan amplop, eh isi amplopnya, bakal berlembar-lembar warna merah. Mengapa saya membayangkan begitu? Pertama, dua tahun sebelumnya, beliau mengundang qari, dai, dan daiyah asuhan saya (lewat audisi atau talent scouting). Tentang besaran kafalah atau bisyarahnya, juga dikonsultasikan ke saya.
Kedua, boleh dikatakan ini acara pribadi. Bukan acara dinas.
Ketiga, acaranya berlangsung pada hari Ahad. Lagi pula, Pak Brata ini orangnya baik. Rajin ke masjid dan mudah memberikan sumbangan apabila diminta mendukung acara–acara di masjid kantor.
Bahkan, suatu saat pernah bilang ke saya ketika saya menghadap beliau menyodorkan proposal: “Saya ini tidak berani menolak, bahkan sekadar mengubah angkanya. Itu kalau yang datang aktifis masjid.”
Di titik ini, wajar kalau saya berharap bakal memperoleh kafalah yang besar pula saat saya diundang memimpin doa di acara beliau.
Pada hari–H, saya siap uang dalam dompet. Cukup untuk naik angkot tiga kali sampai kantor, lalu nyambung menggunakan taksi. Oh iya, saya tinggal di Bogor Timur. Angkot pertama dari rumah menuju Bekasi. Kedua menuju Jakarta Timur. Ketiga, dari tempat pemberhentian angkot, nyambung ke kantor yang juga masih di wilayah Jakarta Timur.
Sesampai di kantor, saya menelepon teman saya yang tinggal di dekat lokasi. Maklum, saat itu saya tidak banyak tahu daerah Jakarta Selatan. Pikir saya, teman saya bisa mengantarkan ke lokasi dan sekaligus menjadi teman bincang–bincang agar saya tidak terasing di lingkungan elite.
Meski sudah saya rayu, teman saya menolak ikut karena tidak diundang. Akhirnya saya berangkat langsung menuju lokasi hajatan. Naik taksi agar saya tidak malu. Blazer pun sudah saya pakai. Alhamdulillah, uang yang saya siapkan untuk naik taksi juga tidak kurang.
Ketika mengambil uang untuk membayar taksi, saya menghibur dompet. “Tenang saja, nanti pulangnya juga bakal penuh kok. Uangnya gede–gede, lagi.”
Sesampai di lokasi, saya bingung. Dari luar, bangunannya tidak menampakkan sebuah restoran. Pintu masuknya hanya sebuah kongliong sempit dan rendah. Juga, tidak dijaga. Dinding–dinding luarnya penuh dengan tanaman rambat berwarna hijau. Namun, banyak mobil mewah di parkiran.
Tapi masuknya lewat mana? Apakah memang di sini lokasinya? Mana papan nama restorannya? Ndesit bener ini orang! Ketika ada orang baru datang, lalu masuk melalui pintu kongliong sempit tadi, baru saya mengikutinya.
Di dalam, sudah ada Pak Brata bersama keluarga. Para tamu juga sudah berdatangan, meski belum semuanya. Acara belum dimulai. Sebagian bergerombol, barangkali teman akrab atau teman lama yang baru ketemu lagi. Sebagian lagi menikmati homeband yang melantunkan beberapa lagu.
Saya mengambil tempat duduk sambil menikmati welcome drink. Tentu setelah menyalami Pak Brata untuk meyakinkan beliau bahwa saya sudah hadir tepat waktu.
Tak lama kemudian acara dimulai. Shahibul hajat memberikan sambutan dan pamit kepada para undangan, sekaligus mohon doa. Berikutnya saya dipanggil MC untuk membacakan doa. Saya menggunakan bahasa Arab dan bahasa Indonesia agar mudah dipahami shahibul hajat dan para undangan.
Turun dari panggung, saya didekati seorang ibu setengah baya. Sambil tersenyum dia lalu berujar, “Saya kira bukan ustadz, karena tubuhnya kecil.” Saya lalu membalasnya dengan tersenyum hangat.
Pak Brata mempersilakan saya menikmati hidangan. Saya tidak begitu merasa asing, karena ada beberapa undangan yang makan sendirian di meja makan.
Selesai makan, saya pamitan kepada Pak Brata. Beliau menyalami saya dengan hangat. Senyum khasnya juga menghias bibirnya. Lalu saya menuju pintu keluar, yang juga pintu masuk tadi. Saya perhatikan, tidak ada orang yang mengikuti saya. Juga, Pak Brata.
Apakah panitia atau Pak Brata lupa kalau saya pengisi acara di acara pribadinya yang perlu diselipi amplop? Ataukah saya dianggap sebagai bawahannya di kantor dan ini juga dianggap acara resmi kantor? Hem, di kantor saya memang spesial pembaca doa dan tentunya gratisan tanpa dibayar. Tapi, ini? Ini kan acara pribadi dan undangannya pun banyak yang tidak saya kenal. Untung tidak ada Rhoma Irama. Kalau Rhoma lihat, jangan-jangan akan bilang: Terlalu!
Di parkiran, saya membuka dompet. Kosong, tak ada rupiah. Saya buka–buka lagi lipatannya, barangkali ada keajaiban setelah membaca doa tadi. Tetap saja tidak terlihat lembaran uang oleh mata saya. “Syukurin Lu, abisnya ngandelin orang sih. Allah-nya mau dikemanain,” mungkin itulah rutuk dompet saya.
“Harusnya, isi gua dipenuhin dulu, baru berangkat,“ begitulah kira-kira nasihat lanjutan si dompet.
“Hai dompet, tahu apa Lu. Gua kan juga udah baca doa keluar rumah. Baca doa naik kendaraan.”
“Iya sih. Tapi ikhtiarnya kurang maksimal. Ngarepin-nya sama orang.”
Lupa Melibatkan Allah
Sambil clingak-clinguk di parkiran, saya membaca istighfar. Lupa tidak melibatkan Allah dalam berniat. Bukankah Allah segala–galanya? Bukankah Allah yang punya uang dan bukannya manusia? Manusia hanya akan menerima titipan saja. Manusia itu seringnya PHP (pemberi harapan palsu).
Saya masih jalan bolak–balik di sekitar parkiran. Sepertinya tidak ada tukang parkir, sehingga saya tidak ditanya atau dicurigai sebagai orang yang akan berniat jahat. Cukup lama juga.
Di dalam masih berlangsung acara ramah–tamah dengan iringan homeband. Lupa juga saya kok tidak menghubungi teman saya yang rumahnya dekat lokasi hajatan. Siapa tahu ada waktu untuk menjemput saya dan meminjami uang untuk pulang. Ya, kalau lupa memang suka tidak ingat!
Tak berapa lama kemudian, setelah keringat mengucur di sekujur tubuh karena kepanasan (apalagi pakai blazer), seorang teman kantor menuju parkiran. Ia adik gitaris Tohpaty. Di dalam ruangan tadi saya tidak melihatnya.
“Mas Hasan, ngapain? Naik apa,” tanya dia.
Dengan sedikit malu, saya menuturkannya. Dia tersenyum.
“Ikut saya saja,” ajak dia.
Alhamdulillah, pertolongan akhirnya datang juga. Saya nunut sampai perbatasan Bekasi Selatan dan Bogor Timur. Lalu, saya sambung dengan ojek.
Sebuah pelajaran berharga. Sekali-kali jangan berharap kepada manusia. Berharaplah kepada Allah. Libatkan Allah secara sungguh-sungguh dalam segala niat kita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni