Wawancara dengan Buya Syafii Ma’arif adalah salah satu kenangan tak terlupakan kontributor Malang Uzlifah. Ada juga kenangan bersama Haedar Nashir, Emha Ainun Nadjib, dan tokoh lainnya.
PWMU.CO – Portal berita milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini saya kenal sekitar empat tahun silam. Bangga dan bersyukur bisa menjadi bagian di dalamnya. Rasanya tidak percaya hingga kini akhirnya saya terjun di bidang jurnalistik. Semua itu bermula dari keterlibatan saya dalam berkontribusi di PWMU.CO.
Banyak hal yang saya dapatkan selain terkait ilmu tulis-menulis. Saya mendapatkan banyak saudara dan guru. Juga bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh nasional. Itu menjadi pengalaman sangat berharga, yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Kisah Pak Manan adalah salah satu tulisan saya yang viral di tahun kedua kelahiran PWMU.CO. Kisah seorang aktivis Muhammadiyah yang mengikuti aksi 411 pada tahun 2017 dengan menggunakan sepeda motor butut: dari Malang ke Jakarta.
Meliput dia, menuntut saya untuk super sabar. Saya harus benar-benar mengikuti perjalanan Pak Manan melalui pesan WhatsApp dan sambungan telepon setiap saat. Hampir 24 jam saya terjaga. Sebab saya harus memastikan perjalan Pak Manan sampai tujuan dan tulisan saya tuntas.
Kecintaan dan rasa percaya saya pada portal berita berkemajuan ini telah menjadikan saya sebagai sosok yang lebih berani dan selalu haus akan ilmu. Terlebih lagi dengan campur tangannya sang redaktur yang sangat disiplin.
Wawancara dengan Buya Syafii
Ketika ramai-ramainya kasus Ahok dan bapak bangsa kita—Buya Syafii Maarif—menjadi objek bulian netizen, saya mempunyai keinginan yang kuat untuk bisa wawancara dengan beliau. Saat itu saya tidak mengenalnya, tidak tahu alamat rumahnya juga tidak punya nomor teleponnya. Saya hanya punya Kartu Pers PWMU.CO.
Saya ikuti informasi bahwa saat itu Buya Syafii berada di luar kota untuk kepentingan umat dan baru kembali ke Yogyakarta sore hari. Tidak mau kehilangan kesempatan, habis Maghrib saya ditemani dua anak dan suami berangkat mencari rumah beliau. Saat itu hujan sangat lebat dan suasana gelap sekali.
Tepat pukul 21.00 WIB kami berada di depan pagar rumah Buya Syafii. Dengan harap-harap cemas kami membunyikan bel. Melihat suasana yang sangat sepi kami putuskan untuk pulang. Apalagi saya sudah bunyikan bel tiga kali.
Alangkah terkejutnya saat kami membalikkan badan. Seorang laki-laki membawa payung dan berkata, “Ada perlu apa ya? Ayo-ayo masuk,” ajaknya sambil mengarahkan payungnya ke saya, yang saat itu sambil menggendong putra kelima saya: Harakah El Muhammady Kusumadiningrat.
Keramahan dan kesantunan Buya Syafii menjadi satu hal yang tidak bisa saya lupakan. Bayangkan, kami tidak pernah mengenalnya dan saat itu beliau baru datang dari luar kota. Tapi semua itu tidak diindahkan.
Saya pun memperkenalakan diri sambil menunjukkan Kartu Pers PWMU.CO. Satu jam kami berbincang, usai wawancara dengan Buya, beliau mengantar kami sampai ke depan pagar sembnari memayungi saya dan Harakah. Buya Syafii juga menolak saat saya akan membantunya untuk menutupkan pintu pagar rumahnya.
Setelah saya tahu sendiri sosok seorang bapak bangsa tersebut, saya tidak tinggal diam. Saya sampaikan pada para pem-bully bahwa mereka ternyata tidak sebaik Buya Syafii.
Wawancara Can Nun di Bandara
Bersama PWMU.CO Allah juga memberi kesempatan saya untuk wawancara dengan seorang budayawan ternama Emha Ainun Najib Alias Cak Nun.
Saat itu kebetulan kami akan pergi ke Samarinda untuk memberi materi pelatihan jurnalistik. Saya bertemu dengan Cak Nun yang menjadi pusat perhatian saat berada di ruang tunggu Bandara Juanda.
Alhamdulillah saya bisa menemuinya. Saya keluarkan Kartu Pers PWMU.CO dan minta izin untuk memulai wawancara.
Awalnya hanya saya sendiri. Setelah beberapa menit saya lirik samping kanan kiri ternyata sudah ada beberapa wartawan dari media lain yang ikut menyimak perbincangan saya dengan Cak Nun.
Usai wawancara semua orang berebut foto bersama Cak Nun dan saya bertindak sebagai fotografernya. Sampai saya sendiri tidak punya foto dengan Cak Nun yang bagus. Memang ada dua jepretan. Itu pun dilakukan oleh suami saya dan keduanya blur.
Tulisan yang saya hasilkan membuat Cak Nun sangat percaya dengan PWMU.CO meski awalnya dia meragukan saya. Buktinya, setelah itu dia mengirim tulisan berkali-kali untuk dimuat di PWMU.CO.
Wawancara Pak Haedar dan Bu Noorjannah
Berhasil wawancara dengan pucuk pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah butuh nyali tersendiri.
Saat itu saya harus berangkat sebelum Subuh ke Bandara Juanda untuk bisa menemani Nelly Asnifati, Sekretaris Pimpinan Wlayah Aisyiyah Jatim, menjemput Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Siti Noorjannah Johantini.
Dalam perjalanan mengantar beliau dai Bandara Juanda menuu Brondong Lamongan, saya dapat menulis beberapa berita dari beliau. Kemudian dilanjutkan dengan liputan khusus pembukaan Klinik Pratama Muhammadiyah Brondong.
Lain Ibu Noorjannah lain pula Pak Haedar Nashir. Saat itu hanya saya yang dapat kesempatan wawancara khusus dari sekian banyak jurnalis yang ada di arena Expo LPCR 2016 di Babat Lamongan.
Pak Haedar mengawali pembicaraan dengan bertanya pada saya, “Sudah nulis berapa buku? Tentang apa saja?” Meski saya sempat menjawab pernah menulis buku tentang PAUD, tapi saat itu terus terang pertanyaan Pak Haedar seakan menyindir saya.
Dan sejak itulah saya bersemangat untuk belajar menulius lebih baik lagi hingga terbit buku saya Literasi Diigital yang itu murni karena kiprah saya berkontribusi di PWMU.CO. Kemudian terbit lagi Fiqih Lifestile dan masih ada dua naskah lagi.
Hujan Lebat Usai Liput Candi Jago
Berkesempayan meliput Milad Ke-104 Muhammdiyah di Bangkalan dan meliput langsung aksi 212 serta berhasil mewawancarai beberapa tokoh seperti Brigjen Firly, Dahlan Rais, Dahniel Anzar Simanjuntak, dan masih banyak lagi menjadi catatan sejarah tersendiri dalam kehidupan saya.
Ada dua liputan yang tidak kalah pentingnya , yaitu saat meliput Candi Jago, di mana saya harus dibonceng suami dengan sepeda motor yang jaraknya lumayan jauh. Saya juga harus bersabar untuk tidak banyak berkomentar dan bersabar untuk tidak menyimpulkan tergesa karena sepanjang pembahasan tidak lepas dari dunia klenik.
Padahal yang saya temui tak lain adalah seorang aktiivis Muhammadiyah. Dari peristiwa itu saya melihat Muhammadiyah harus punya banyak ragam dan warna dalam berdakwah agar bisa menjangkau semua segmen dan komunitas masyarakat.
Sepanjang perjalanan pulang kami berdua berjibaku menahan dingin karena hujan sangat lebat disertai angin. Jarak yang masih jauh dan hari yang semakin sore membuat kami tidak mungkin berteduh. Sebab keempat anak kami sedang menanti di rumah.
Selain hal-hal di atas, ada kenangan yang juga tidak mungkin saya lupakan. Yakni saat meliput peternakan tikus putih milik Pak Suwaji salah seorang anggota Pimpinan Ranting Muhammadiyah Mojolangu Lowokwaru, Malang.
Pasalnya saya ini orangnya paling jijik dengan tikus. Nah saat itu saya harus masuk kandang yang isinya ribuan tikus putih dan beberapa ekor ular raksasa. Bau yang menyengat bisa saya tahan tapi saat harus mengambil beberapa foto, saya harus kerahkan semua energi untuk menahan rasa jijik yang amat sangat.
Sepadan dengan perjuangan keras saya, hasil reportase itu juga berhasil menarik perhatian netizen meskipun setelah reportase saya tidak bisa makan selama tiga hari karena kebayang terus oleh ribuan tikus putih dan ular-ular raksasa.
Ternyata tanpa saya sadari hal itu telah menjadikan putri ketiga saya sebagai penyayang binatang. Saya baru sadar di rumah ternyata saat saya sibuk reportase putri saya malah bermain dengan ular-ular raksasa. Dan sejak itu dia merengek minta dibelikan ular, tikus, monyet, dan binatang lainnya.
Kecewa Dua Liputan
Saya percaya kesuksesan seseorang itu bisa dipicu oleh rasa putus asa dan kecewa yang berhasil dibangkitkan kembali. Saya pernah merasa sangat kecewa saat menulis dua berita.
Pertama, saat meliput Ustadz Firanda Andirja yang dihadang Banser saat mau ceramah di sebuah masjid. Saat itu saya dipaksa untuk sedikit berbohong oleh nara sumber. Saya harus bongkar tulisan sampai sepuluh kali.
Dengan halus nara sumber minta saya agar memperhalus bahasa yang menurut saya itu untuk menutupi kejadian yang sebenarnya. Akhirnya atas kebijakan pemimpin redaksi, sepakat isi berita diperhalus dan demi keselamatan saya nama saya sebagai penulis diganti Tim PWMU.CO.
Kemudian yang kedua, saya harus rela berita saya dihapus padahal sudah viral karena pihak pemilik acara di sebuah stasiun radio akan mempolisikan PWMU.CO bila berita tersebut tetap terbit.
Buah manis sebagai kontributor PWMU.CO telah saya rasakan, saat saya mendapat hadiah untuk mengikuti dan meliput Rihlah Dakwah II Malaysia dan Thailand. Berkat PWMU,CO pula kini tulisan saya juga dimuat di media cetak. Dan yang terpenting saya tetap istiqAmah berkontribusi di usia empat tahun PWMU.CO.
Semua pengalaman manis dan pahit bersama PWMU.CO selamaini, telah menjadi guru terbaikku. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.