PWMU.CO – Jauh hari sebelum diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Prof Muhadjir Effendy tidak pernah lupa pada asal-usulnya. Terlahir sebagai anak desa yang sukses merantau ke kota, dia punya cara unik untuk membantu para guru di sekolahnya semasa SD. Sejak dipercaya sebagai petinggi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) jelang tahun 2000, dia punya beberapa kiat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Layaknya lembaga pendidikan di perkampungan, sekolah tingkat dasar ini juga tidak jauh dari kesan sederhana. Bahkan, meski sekarang ada beberapa bangunannya yang berlantai 2. Itulah MI Al-Islam Mojorejo, tempat Muhadjir menimba ilmu di tingkat dasar. MI ini secara administratif berada di Dusun Mojorejo RT 11 RW 11, Desa Klitik, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun. Tepatnya Jl Bismo nomor 593.
(Baca juga: Setelah Hampir Sebulan, Akhirnya Mendikbud Bisa Mampir ke Kampung Kelahiran. Begini Sambutan Masyarakat dan 4 Filosofi Hidup yang Antarkan Prof Muhadjir Effendy ke Gerbang Kesuksesan)
Sama dengan sekolah swasta lain yang gajinya pas-pasan, begitu pula yang dialami guru MI Al-Islam. Barulah ketika ada tunjangan sertifikasi, penghasilan para guru sedikit meningkat. “Mas Muhadjir memang berharap para guru MI ini, meski swasta, kehidupan mereka agak baik dengan mendapat tunjangan sertifikasi,” jelas adik paling bungsu Muhadjir yang tinggal di Mojorejo, Aksin Muharrom.
Karena salah satu syarat mendapat tunjangan sertifikasi harus lulus sarjana, maka Muhadjir pun mendorong para guru SD almamaternya untuk memenuhi syarat ini. Dorongan ini tidak hanya dalam bentuk verbal, tapi juga dikonkritkan dengan menguliahkan para guru yang belum sarjana. “Setidaknya ada 6 guru yang disekolahkan oleh Pak Muhadjir hingga lulus S-1,” jelas salah satu penulis biografi Muhadjir, Pradana Boy ZTF PhD.
(Baca juga: Guru Idola Mendikbud Prof Muhadjir Effendy Sewaktu SMA, Meninggal Dunia dan Mendikbud Prof Muhadjir Effendy di Mata Muhammadiyah Jatim)
“Alhamdulillah sudah ada beberapa yang mendapat tunjangan sertifikasi,” tambah Aksin. Namun, tugas Muhadjir belum selesai karena tidak semua guru SD-nya itu bisa melanjutkan ke bangku perkuliahan. Entah faktor usia atau lain sebagainya, sehingga tidak semua yang belum S-1 bisa ikut menyelesaikan pendidikan sarjana.
Untuk para tenaga pendidikan MI Al-Islam yang tidak bisa ikut kuliah, yang otomatis tidak mungkin mendapat tunjangan sertifikasi, Muhadjir juga punya cara tersendiri untuk membantunya. Mereka inilah yang mendapat tunjangan dari Muhadjir yang disisihkan dari hasil keringatnya di UMM.
(Baca juga: Mendikbud: Di Tangan Guru Profesional, Kurikulum Apapun Tak Ada Masalah dan Inilah Program Andalan Mendikbud Baru, Prof Muhadjir Effendy)
Suami dari Suryan Widati ini menabung sebagian gajinya di sebuah bank. Bank yang dipilih pun tidak aneh-aneh, yang terpenting lokasinya terdekat dari Dusun Mojorejo. “Bagi hasil atau bunga dari tabungan itulah yang kemudian dibayarkan kepada para guru yang belum dapat tunjangan sertifikasi,” jelas Pradana Boy.
“Kalau tidak salah ada 3 atau 4 guru yang tidak dapat tunjangan sertifikasi dari pemerintah,” tambah Aksin. “Ya, memang jumlahnya tidak banyak. Paling cuma 300 ratus ribuan untuk 1 guru. Tapi setidaknya itu cara Mas Hadjir membantu para guru di MI-nya itu dulu.”
(Baca juga: Dituding Sektarian, Ternyata Mendikbud sudah Lama Praktikkan Sikap Multikultural dan Ketika Kado untuk 2 Muha(d)jir Seringkali Bertukar Alamat)
Pelajaran pentingnya, alangkah indahnya jika para perantau yang sukses di kota punya kepedulian pada tanah kelahirannya di desa. Apalagi kepada guru atau sekolah alamaternya, yang bagaimana pun ikut berkontribusi pada kesuksesan kita sekarang. (paradis)