PWMU.CO– Kepemimpinan Muhammadiyah sekarang dituding lembek, Ketua Umum Pimpinan Pusat Haedar Nashir menjawab, kita selalu bersikap tegas dengan mengedepankan ilmu, hikmah, dan maslahat.
”Muhammadiyah sejak awal hingga kini tidak pernah berubah dalam bersikap secara adil dan tegas dengan mengedepankan pencerahan dan hikmah,” kata Haedar Nashir dalam konferensi pers virtual Munas Majelis Tarjih dan Tajdid, Senin (23/11/2020) seperti dirilis muhammadiyah.or.id.
Meskipun memiliki kekuatan untuk melakukan pendekatan lebih tegas, sambung dia, Muhammadiyah tidak akan pernah menggunakan ruang tersebut menimbang maslahat dan madharat yang lebih besar.
”Jika mau cara-cara ekstrem Muhammadiyah bisa saja, tapi akan goncang negeri ini. Kami tidak akan menggunakan ruang ini karena tidak maslahat,” ujarnya.
Dia mengatakan, alih-alih memilih cara pendek, Muhammadiyah lebih memilih cara-cara jangka panjang yang mengakomodasi peradaban Islam meski lambat dan tidak populer.
”Kalau kami bangun sekolah, rumah sakit, datang ke pelosok-pelosok itu komitmen kami membangun peradaban dari pusat-pusat keunggulan yang memajukan dan mencerdaskan. Itu bukan rutinitas, tapi agenda kita,” jelasnya.
Jalan Tidak Populer
Tugas membersamai umat dengan cara membangun pusat-pusat keunggulan, menurutnya, lebih sulit daripada sekadar membuat gerakan kolosal.
”Mungkin tidak populer dibandingkan mengumpulkan masa di alun-alun yang Muhammadiyah juga bisa. Tapi itu komunalitas yang membuat kemajuan tertahan,” tandas dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Haedar tidak memungkiri gejala ekstrem dan kejahiliyahan di akar rumput muncul sebagai kesenjangan akibat pemerintah tidak optimal dalam menggarap kesejahteraan publik.
Karena itu, sambungnya, komitmen Muhammadiyah semakin kuat untuk mencerdaskan umat dan memberdayakan mereka hingga berdaulat dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya.
”Boleh jadi (pilihan ekstrem) itu menyenangkan sesaat, karena mafsadatnya lebih besar. Pertaruhan besar ini tidak bisa diambil oleh kita. Maka kita tawarkan, biarpun jalan ini panjang. Kami tidak ingin menawarkan beragama yang instan,” tutur Haedar.
”Terakhir, agama tidak bisa lepas dari realitas, kehidupan ekonomi, politik, budaya dan global. Karena itu menerapkan nilai-nilai agama yang mencerahkan itu bertemali dengan kondisi kita. Di saat seperti itu, kalau kami mengambil posisi tawasuth itu memang semestinya,” tegasnya menjelaskan kepemimpinan Muhammadiyah. (*)
Editor Sugeng Purwanto