Salju abadi di Puncak Jayawijaya diprediksi segera mencair drastis mulai tahun depan hingga benar-benar habis lima tahun kemudian. Ketidakseimbangan alam ini memengaruhi kepercayaan suku-suku di Papua yang menganggap salju adalah ruh dewa.
PWMU.CO-Di tengah gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memanas di bulan Desember, gletser salju di puncak Pegunungan Jayawijaya juga bergerak menuju kepunahan.
Julukan salju abadi di puncak gunung tertinggi di Indonesia itu tak kekal lagi. Salju di atas Taman Nasional Lorentz ini adalah gletser tropis terakhir yang tersisa di kawasan Asia. Diperkirakan gletser itu tak bertahan lama. Tumpukan salju itu terus bergerak mencair akibat perubahan iklim.
Dr Donaldi Permana, peneliti senior di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, sebagian orang Indonesia ada yang tidak tahu bahwa Indonesia memiliki gletser. ”Esnya sudah mencair sejak revolusi industri,” katanya.
”Puncak Jaya memang tidak ada es di puncaknya, tapi di sekitarnya ada beberapa lapisan es, yang dulunya satu gletser besar,” ujar Donaldi Permana kepada program Earshot dari ABC Radio National.
Gletser tropis adalah salah satu indikator perubahan iklim yang paling sensitif dan tinggal sedikit yang tersisa di dunia. Selain di Papua, yakni di Amerika Selatan dan Afrika.
Suhu di Puncak Memanas
Dijelaskan, Puncak Jaya adalah puncak tertinggi antara pegunungan Himalaya dan Andes. Pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut, penurunan suhu dan hujan berubah menjadi salju, kemudian membentuk es dan memadat menjadi gletser.
Sebagai salah satu wilayah terbasah di bumi, hujan turun di kawasan Papua ini hampir 300 hari dalam setahun. Tetapi suhu yang memanas membuat hujan tidak lagi berubah menjadi salju. Gletser mencair dari atas dan bawah.
”Kami menyebutnya pelelehan basal, mencair dari dasar. Saat daerah yang lebih gelap di sekitar gletser membesar, gletser menyerap lebih banyak radiasi matahari, sehingga semakin hangat,” kata Donaldi.
”Selain itu, tanah di mana gletser berada tidak datar, sehingga es dapat meluncur ke bawah lebih cepat,” sambung dia.
Proses mencairnya es yang cepat terlihat dari angka-angka berikut. Pada tahun 1850 luas gletser mencapai 19,3 kilometer persegi, di tahun 1972 menjadi 7,3 kilometer persegi. Kemudian menyusut drastis menjadi hanya 0,5 kilometer persegi di tahun 2018.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa gletser akan benar-benar hilang pada tahun 2026. Tapi terdapat kemungkinan besar ini akan terjadi di tahun 2021. Kata dia, ini mengandung petunjuk penting tentang perubahan iklim Bumi.
Gletser Andes dan Afrika
Kondisi kritis gletser di Papua ini sama kondisinya dengan di pegunungan Andes di Peru dan beberapa gunung yang tersebar di benua Afrika. Luas gletser tropisnya juga menyusut. Puncak Jaya paling rendah dibandingkan gletser tropis lainnya, maka kemungkinan akan menjadi yang pertama yang menghilang.
Gletser memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Di Afrika dan Amerika Selatan terdapat musim kemarau, di mana debu dikumpulkan oleh hujan lalu bercampur menjadi salju.
Jika Anda mengiris gletser seperti kue, Anda akan melihat lapisan debu yang terkumpul tahunan dan bisa dipakai untuk menghitung berapa usia gletser tersebut.
”Inti es Peru berumur sekitar 1.800 tahun. Di Afrika bisa kembali ke 11.000 tahun yang lalu. Tapi di Papua, karena selalu hujan, kita tidak bisa menghitungnya dengan mudah,” kata Donaldi.
Pada tahun 2010, Donaldi menjadi bagian dari tim peneliti yang mengekstraksi inti es dari gletser Papua. Lapisan es sepanjang tiga puluh dua meter dibor sampai ke dasar.
”Tadinya kami pikir bisa menemukan fosil daun atau serangga untuk melakukan menghitung usianya. Tetapi kami hanya menemukan satu indikator waktu,” katanya. ”Pada kedalaman 24 meter, kami menemukan endapan tritium, yang terkait dengan uji coba nuklir yang dilakukan pada tahun 1964.”
Pada tahun 1964, Uni Soviet dan China pernah melakukan serangkaian uji coba nuklir, menghujani Bumi dengan tritium dan meninggalkan jejaknya di permukaan es.
Apa yang ada saat ini di Puncak Jaya diperkirakan sisa-sisa gletser yang sudah ada kurang lebih 5.000 tahun, namun sudah banyak yang mencair.
”Pada kedalaman 32 meter, terkait dengan tahun 1920-an, jadi kita dapat mengatakan gletser itu berusia sekitar 90 tahun,” tuturnya. ”Tapi kemudian meleleh dari atas dan bawah sehingga sulit untuk mengetahui berapa usianya.”
Iklim Lintas Benua
Mengekstrasi inti es di Papua adalah menjadi bagian dari mencari jawaban soal perubahan iklim.
”Kita sudah punya inti es dari sebelah timur Samudera Pasifik. Inti Amerika Selatan diekstrak di tahun 1980, jadi kami ingin mencatat di sisi lain, dari sebelah barat, yaitu di Papua,” papar dia.
”Kami ingin melihat bagaimana penampakan ENSO berdasarkan dari dua gletser tropis,” katanya. ENSO atau El Niño Southern Oscillation terjadi setiap dua hingga tujuh tahun sekali. Kejadian El Niño di tahun 2015/2016 telah membawa lebih banyak kepanasan dan kekeringan yang dapat meningkatkan kemungkinan mencairnya es.
Ini adalah penemuan tim peneliti ketika membandingkan dua inti es dari Samudera Pasifik dan Amerika Selatan
Mereka juga menyimpulkan, pemanasan telah melewati ambang batas, sehingga bila El Niño yang sangat kuat terjadi lagi, hilangnya gletser tropis di antara Himalaya dan Andes akan terjadi.
Pakar iklim memprediksikan saat ini kita sedang menuju ancaman La Niña, yang secara khusus dicirikan oleh kondisi lebih basah di Indonesia. Namun Donaldi mengatakan, dampaknya hanya akan bertahan sebentar.
”Perlu diingat untuk membangun gletser, kita bukan hanya butuh uap air, tapi juga suhu dingin. Dan kita tahu suhu meningkat setiap tahunnya,” katanya. ”Kita mungkin punya salju selama beberapa hari, tapi untuk membangun gletser, kita butuh salju yang padat dan suhunya untuk tetap dingin selama paling tidak setahun.”
Dianggap Dewa
Pemanasan global turut memengaruhi komunitas di belahan dunia manapun dengan cara yang berbeda-beda. Di Afrika, beberapa puncak yang tertutup salju tidak akan lagi memberikan pendapatan untuk sektor pariwisata.
Di Peru, penyusutan gletser akan membuat warga terpaksa minum air dari hilir. Sementara di Indonesia tidak akan ada kekurangan air. Dampak dari mencairnya es tidak dapat diprediksi dengan jelas.
”Ada suku Papua setempat yang hidup di sekitar gletser ini dan percaya gletser tersebut adalah tempat suci,” kata Donaldi. ”Mereka percaya salju abadi adalah dewa mereka. Menghilangkan es dari puncak gunung salju anggapannya seperti menghilangkan otak seorang dewa.”
Tidak mengejutkan jika Donaldi dan tim penelitinya menemukan beberapa perlawanan dari warga setempat ketika berupaya mengekstrak inti es dari gletser.
”Anak mudanya percaya sains perubahan iklim, namun yang lebih tua tidak,” katanya. ”Inilah mengapa dinamakan Salju Abadi. Namun mereka akan kehilangan saljunya segera,” tndasnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto