Jihad di Muhammadiyah Itu Berbayar oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO– Di Muhammadiyah tak ada anggaran bikin tandu buat sambut pemimpin. Isu egaliter lebih dominan dibanding tentang mulianya nasab. Semua dilihat sama, bergantung prestasi. Yang paling mulia di antara kami adalah yang paling bertaqwa. Sebab itu di Muhammadiyah tak ada habib, syarif, atau sayyid.
Isu tentang kesejahteraan sosial (social walfare), pendidikan berkualitas, demokrasi, keadilan, kesenjangan sosial, toleransi lebih dominan dibanding dengan isu-isu sektarian dan SARA.
Sejak awal Kiai Ahmad Dahlan menolak formalisme dan strukturalIsme. Sebab itu beliau pernah menolak ketika beberapa santrinya mengusulkan agar Majelis Taklim Sopo Tresno diubah menjadi sebuah organisasi. ”Nanti engkau akan sibuk ngurus organisasi ketimbang pergerakan.”
Muhammadiyah memberi ruang spesial bagi kadernya untuk berkompetesi, berlomba-lomba berbuat bajik. Fastabiqul khairat menjadi salah satu jargon paling populer dan diminati dibanding menjadi paderi atau pasukan berani mati.
Bukan nyawa tapi harta. Kami juga berani mati tapi ada saatnya. Jihad tak melulu setor nyawa. Harta lebih perlu dan didahulukan. Allah berfirman, berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (At-Taubah 9:20).
Muhammadiyah menghargai kerja keras,ikhlas dan tulus. Para ulamanya bersahaja. Tidak berharap sanjung puji. Hampir semua serahkan harta, tanah, rumah, uang untuk persyarikatan dan tak satupun terpikir membawa kembali pulang meski triliunan aset telah diusahakan.
Jangan dikira kami tak berani mati. Jika sudah waktunya, semua akan kami beri, termasuk jiwa dan nyawa. Harta saja kami berikan apalagi nyawa. Jadi jangan pernah ragukan ghirah jihad kami. Jihad kami berbayar: harta benda kami serahkan baru nyawa.
Jihad Harta
Max Weber menulis apik tentang etika Protestan dalam sebuah risetnya Die Protestantiesche Ethik und der Geist Des Kapitalismus yang fenomenal yang melahirkan semangat kapitalisme. Orang Kristen puritan yang disebut Weber ini begitu kuat memengaruhi perilaku kapitalisme Eropa. Kerja keras, kompetitif, hemat, produktif dan suka memberi.
Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al Kandhalawi, mengisahkan dalam kitabnya bahwa Sayidina Abu Bakar ra serahkan semua hartanya, Sayidina Umar ra separo hartanya. Kemudian Rasulullah saw bertanya,”Apa yang kau tinggalkan buat keluargamu?” Abu Bakar menjawab yakin,”Allah dan RasulNya.”
Jihad Islam bukan ofensif, tapi defensif. Islam tak pernah menyerang duluan tapi bertahan. Bukan seperti kebo nantang pasangan. Dan menantang semua yang lewat di hadapan.
Kiai Dahlan serahkan semua hartanya untuk biaya persarikatan tanpa menyisakan sedikitpun. Beliau berkata kepada para kadernya,”Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agamamu dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.”
Agak berat memang. Sebab jihad di Muhammadiyah itu berbayar. (*)
Editor Sugeng Purwanto