Sekolah Online: Afeksi Siswa Kering, Minat Belajar Rendah oleh Choirul Amin, kontributor Malang. Tulisan ini Juara III Lomba Penulisan Opini 5 Tahun Milad PWMU.CO.
PWMU.CO– Lebih dari setahun menjalani ketidaknormalan aktivitas akibat pandemi, sudah selayaknya kini kita lebih melihat gejala yang mengemuka pada anak-anak kita. Pandemi berkepanjangan, jangan lantas memunculkan lost generation (generasi kosong).
Belajar di rumah dan sistem sekolah online menjadi pilihan yang harus diterima selama masa pandemi sejak Maret 2020 lalu agar aman dari ancaman penularan Covid-19.
Yang tak dipungkiri, anak-anak termasuk orangtua kini memang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan digital menyangkut pilihan cara belajarnya. Bagi yang siap, belajar daring (dalam jaringan) atau sekolah online menjadi model baru yang lebih simple. Bahkan mungkin mengasyikkan.
Akan tetapi, bagi yang tidak sepenuhnya siap, bukan tidak mungkin mereka justru tersesat dalam pengalaman belajarnya. Tidak menemukan pengetahuan baru yang diinginkan. Belajar daring yang asal-asalan, maka arah dan tujuan belajar menjadi sangat sederhana, dan alur prosesnya lebih pendek bahkan instan.
Adakah yang berubah, bahkan hilang, dari kebiasaan dan karakter anak selama menyibukkan diri belajar daring di rumah? Banyak yang harus dipastikan efek dan efektivitas dari kebijakan belajar daring.
Learning Loss
Tiap jenjang pendidikan, punya karakter belajar juga pendekatan pembelajaran yang berbeda-beda. Sama-sama belajar di rumah dengan daring, cara dan tujuan pembelajaran di tiap jenjang tidak sepenuhnya sama. Bergantung kebutuhan belajar tiap jenjang usia peserta didik.
Pemerintah mulai serius memberikan atensi pada efek belajar tanpa tatap muka atau pembelajaran daring yang terlalu lama akibat pandemic berkepanjangan. Mendikbud Nadiem A. Makarim kembali menunjukkan perhatian pada kekhawatiran hilangnya kemauan belajar (learning loss) pada pelajar karena terlalu lama tidak sekolah.
Gejala penurunan semangat dan kemauan belajar ini sudah lama muncul, dan banyak dikeluhkan para guru. Selama pandemi, pekerjaan guru dan sekolah pun banyak berubah.
Selain memandu belajar daring siswa dan tidak lagi bisa memfasilitasi belajar di kelas, maka yang lebih sering dilalukan kini adalah home visit. Meski ini tidak semata bisa dilakukan langsung dengan berkunjung ke rumah siswa.
Soal task commitment (pemenuhan tugas) yang rendah menjadi gejala jamak yang kini menjadi kendala. Jumlah kasusnya pun meningkat cukup tinggi dibanding kondisi normal ketika belajar di sekolah.
Kemandirian Rendah
Penyelesaian kasus komitmen belajar rendah ini pun lebih sulit penanganannya, karena tidak bisa bertatap muka langsung dengan siswa atau pun orang tuanya.
Bukan semata soal kemauan yang rentan menurun dan hilang, kemandirian belajar anak juga bisa menjadi beban sekaligus ujian tersendiri. Bagi sebagian kelompok pelajar, kemandirian belajar tidak lantas bisa cepat dilakukan. Mereka akhirnya lebih bergantung pada orang lain, atau keluarga terdekatnya.
Kemandirian yang rendah, bisa berakibat banyak hal. Anak rentan lebih ogah-ogahan alias malas belajar, jika tidak ada yang keras menyuruh atau ada yang menunggui dan mendampinginya.
Belajarnya juga bisa kurang bermakna, karena misalnya dilakukan asal membaca atau mengerjakan soal yang ditugaskan guru. Atau, setiap hari cukup menyalin jawaban dari sumberlain. Misalnya, dari internet atau materi buku pengayaan (LKS).
Selama pandemi, peserta didik baru bahkan belum pernah bertemu dan mengenal siapa gurunya. Bisa dibayangkan, anak usia kelas I SD yang masih kekanak-kanakan. Juga kelas awal SMP yang masih dalam masa peralihan kebiasaan saat masih sekolah dasar.
Kering Afeksi
Soal afeksi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran juga perlu dipikirkan. Afeksi tetap sangat dibutuhkan setiap anak, karena belajar juga beriringan dengan proses tumbuh kembangnya.
Belajar daring, sangat mungkin kering afeksi karena memang interaksi guru dan anak didik saling berjauhan. Apalagi untuk guru yang tak mengenali sama sekali karakter dan latar belakang mereka. Maka afeksi ini menjadi hal sulit dilakukan. Terlebih, waktu berinteraksi terbatas, atau terkendala saluran komunikasinya.
Jika kebetulan guru terlalu kaku dan monoton dalam mendampingi dan menginstruksi, maka afeksi pun bisa hilang sama sekali. Padahal afeksi bisa melahirkan dan menumbuhkan empati, simpati, apresiasi dan motivasi.
Pada siswa yang belum sama sekali mengenal gurunya, maka jangan heran jika ia sendiri akan menjadi kurang simpatik. Bahkan menjadi mudah menolak (resistent) dan sulit menerima hal baik dari guru bersangkutan.
Selanjutnya, fungsi pendidikan semestinya tidak dipahami sebagai sarana transfer pengetahuan (akademik) semata. Pendidikan juga untuk menanamkan pekerti, dan bisa mengenali setiap potensi individual anak.
Dalam praktik pembelajaran, ini juga berarti tidak sekadar mencokokkan materi pelajaran untuk dikuasai peserta didik.
Apresiasi Guru
Nah, dalam kondisi seperti ini pembelajaran yang baik penting diterapkan. Mengajar tentunya bukan semata instruksi dan intervensi oleh guru kepada anak didiknya. Pendidikan yang bermakna berarti tetap ada treatment dan apresiasi atas apa yang dilakukan dan hasil belajar setiap anak.
Pembelajaran daring, terutama acara penyampaian bahan belajarnya, kebanyakan guru hanya memberi instruksi tulis yang panjang melalui pesan messenger yang dikirim kepada android siswa saat belajar daring. Padahal minat belajar anak yang berbeda-beda. Karena itu pula, guru harusnya lebih kreatif dalam penyampaian materi.
Ada anak yang cukup cepat memahami pesan redaksional. Namun, ada juga yang lebih suka penjelasan langsung dengan ilustrasi atau visualisasi gambar. Sebagian anak, juga lebih suka mendapatkan apersesi, sapaan, atau cerita sebelum memulai belajar.
Konteks pembahasan tulisan ini bisa mengerucut pada kesimpulan, bahwa anak didik masa depan rentan menjadi generasi yang kosong tak berisi. Meski tetap sekolah, generasi kosong bisa terjadi jika pendidikan yang diberikan asal saja diterima, atau dialami secara impersonal.
Belajar daring yang tidak tepat dan berkepanjangan, justru bisa mengasingkan dan menjauhkan diri anak dari kebutuhan belajar sejatinya.
Ya, pembelajaran menjadi kurang bermakna jika dalam waktu terus menerus hanya dipaksakan melalui penyampaian dan interuksi materi tugas. Maka yang bisa dilakukan adalah memastikan dengan tepat pendidikan menyeluruh (holistik) meski melalui pembelajaran daring.
Pengalaman sekolah online akan tetap bermakna, manakala tidak serta merta dilakukan cukup dengan penyampaian materi dan penugasan guru. Dalam belajar, anak didik tetap butuh afeksi dan apresiasi, sesuai masa tumbuh kembangnya.
Gairah belajar yang hilang, kemauan dan minat yang menurun, atau kemandirian belajar kurang, akan sangat mengganggu proses dan output belajar.
Generasi kosong ini karena kurang pembelajaran bermakna dan kehilangan perhatian tumbuh kembang bersamaan masa belajarnya. Bukan tidak mungkin, mereka akan rentan sekali terancam masa depannya. Wallahu a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto