Zakiah Aini dan Lone Wolf Terrorism oleh Denny JA, peneliti.
PWMU.CO– Apa yang tersimpan dalam pikiran Zakiah Aini? Usianya baru 25 tahun. Belum menikah. Tak selesai kuliah. Inikah fenomena Lone Wolf Terrorism, generasi terorisme berikutnya, yang lebih banyak dikerjakan secara individual?
Saat itu, satu hari di akhir Maret 2021, ia masuk ke Mabes Polri. Sendirian saja. Lalu ia membuat gerakan menembak, dengan pistol yang diduga pistol gas dengan peluru bulat dari plastik atau biji besi.
Polisi pun membalas. Dan Dor! Dor! Zakiah Aini pun terkapar. Tewas. Tak ada ”musuh” yang berhasil dilukai Zakiah!
Mengapa gadis muda ini senekad itu? Apakah ia secara sadar datang ke Mabes Polri untuk mati? Itu karena ia yakin akan masuk surga, dengan seluruh fantasi yang dikembangkannya sendiri?
Ini cara ia memberi manfaat kepada keluarga dan agama, sesuai dengan keyakinannya. Ataukah ia merasa seperti Rambo, seorang diri menyerang markas musuh? Lalu akan menemukan cara menghancurkan markas itu, dan lolos dari penyergapan?
Apakah Zakiah Aini terlalu banyak nonton film kisah Rambo dan kepahlawanan lain? Atau ia korban dari brain washing jaringan terorisme? Atau ia mengalami ganguan jiwa, sekaligus ”mabuk paham keras agama”?
Surat Wasiat
Polisi menemukan surat wasiat yang ditulis Zakiah Aini. Sebelum melancarkan aksi nekat sendirian ”menyerang” Mabes Polri, Zakiah meninggalkan pesan untuk keluarganya.
Tulis Zakiah: Mama, sekali lagi, Zakiah minta maaf. Zakiah sayang banget sama Mama. Tapi Allah lebih menyanyangi hambaNya.
“Maka Zakiah tempuh jalan ini. Dan dengan izin Allah, (jalan ini) untuk selamatkan Zakiah, dan memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.”
Zakiahpun memberikan pesan. Keluarga jangan lagi berhubungan dengan bank. Itu riba. Tak diberkahi Allah.
Juga pesan Zakiah, mama berhenti bekerja sebagai dasawisma (Program PKK). Karena itu membantu pemerintah thagut.
Tak lupa Zakiah meminta keluarganya untuk tidak ikut pemilu. Karena orang- orang itu akan membuat hukum tandingan Allah.
Demokrasi, Pancasila, UUD, Pemilu, menurut Zakiah, adalah ajaran kafir. Itu jelas musyrik. Dengan menjauhi itu, kita semua selamat dari fitnah dunia.
Ciri Lone Wolf Terrorism
Generasi lama terorisme digerakkan oleh organisasi besar terpusat. Dalam garis komando, organisasi seperti Al Qaedah, ISIS, atau di Indonesia: Jemaah Islamiyah, Jemaah Ansharut Daulah (JAD), menggerakkan jaringan, melakukan aksi serangan masif, hingga bom bunuh diri.
Namun organisasi besar itu kini dihancurkan. Mereka diawasi super ketat. Banyak pimpinan utama mati dibunuh, atau terbunuh, juga dipenjara.
Kini datanglah generasi baru yang acap disebut Lone Wolf Terrorism. Coraknya berbeda. Cara beroperasinya juga beda.
Ramon Spaiij, seorang doktor sosiologi, peneliti dari Victoria University, di Melborne, Australia. Ia meneliti corak Lone Wolf Terrorism di 15 negara: The Enigma of Lone Wolf Terrorism: An Assessment.
Dari riset Ramon dan lainnya, dapat kita kategorikan tujuh ciri generasi baru Lone Wolf Terrorism.
Pertama, mereka bergerak dalam kelompok yang sangat kecil. Kadang mereka lakukan aksi terorisme secara individual, atau hanya berdua (kakak dan adik, suami dan istri), atau hanya beberapa orang saja. Mereka tidak lagi bergerak dalam kelompok besar dalam satu serangan terorisme.
Kedua, mereka mungkin alumni, pecahan dari organisasi besar terorisme semacam Al Qaedah atau Jaringan Ansharut Daulah. Atau mereka mungkin juga anggota organisasi besar itu.
Tapi mereka bukanlah peserta aktif organisasi itu. Umumnya mereka bergerak lebih banyak karena inisiatif sendiri.
Ketiga, banyak pula kasus, mereka hanyalah para individu yang terinspirasi. Mereka sama sekali tak berhubungan secara komando dengan organisasi besar terorisme.
Mereka merasa ada panggilan jiwa melakukan tindakan terorisme serupa dengan yang dilakukan organisasi besar itu.
Keempat, umumnya mereka banyak mendapatkan pengetahuan dan inspirasi dari jaringan online. Teroris masa kini juga memanfaatkan jaringan online sebagai wadah ideologisasi.
Dunia online dunia untuk semua. Kebaikan ataupun kejahatan dapat mengembangkan sayapnya melalui online.
Tersentuh Fantasi
Kelima, setelah diteliti, banyak dari Lone Wolf Terorist ini yang mengalami sakit jiwa. Problem pribadi itu membuatnya mudah tersentuh oleh fantasi yang dibawa oleh ideologi ekstrem.
Agama yang dipahami teroris ini umumnya sudah bercampur dengan kemarahan pribadi, frustasi, ketidak berdayaan, kekecewaan, juga dengan fantasi yang liar.
Keenam, khusus jika Lone Wolf ini dari komunitas muslim, mereka mengembangkan permusuhan tingkat tinggi, tak hanya kepada pemerintah. Tapi juga permusuhan ke kalangan non-muslim.
Kesulitan hidup pribadi atau komunitas, mereka persepsikan sebagai buah dari ketidakadilan. Ini akibat tak dijalankannya perintah Tuhan.
Maka sekecil apapun serangan atas properti atau individu yang dipersepsikan sebagai ”musuh” itu bagian dari perjuangan. Walau risikonya adalah kematiannya sendiri.
Ketujuh, gerakan mereka dilakukan umumnya mendekati hari besar agama. Misalnya menjelang bulan puasa, Lebaran, Natal atau tahun baru.
Mereka mengembangkan imajinasi, pada momen itu, pahala atau reward dari Tuhan kepada mereka akan berlipat.
Tak heran jika momen terorisme gaya lone wolf ini lebih banyak terjadi mendekati atau pada momen hari besar agama.
Data tentang Zakiah Aini terus dikumpulkan. Belum bisa dipastikan apakah Zakiah ini bisa dikategorisasi ke dalam Lone Wolf Terrorism.
Yang bisa dipastikan, kita menyaksikan semakin absurdnya, semakin irasionalnya sebuah paham keyakinan. Zakiah Aini bukan yang pertama. Agaknya, kasus seperti ini juga bukan yang terakhir.
Datang sendirian ke Markas Polisi, hanya dengan senapan gas, tak mampu bahkan melukai siapapun, dan mengambil risiko ditembak mati. Adakah yang lebih aneh dari ini? Begitu nekatnya, begitu beraninya, sekaligus begitu absurdnya efek dari sebuah paham keyakinan.
Ilusi masuk surga dengan cara melukai orang lain, itulah sejelas jelasnya paham yang kini paling berbahaya. Yang menyedihkan, paham ini terus hidup di lingkungan kita. Ia menjelma sebagai virus yang lebih sulit diobati ketimbang virus corona. *
Editor Sugeng Purwanto