Munarman Ditangkap, Ada yang Aneh oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Munarman ditangkap Densus 88 di rumahnya. Dia dikaitkan dengan terorisme yang peristiwanya terjadi tahun 2015 adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman berulang kali mengklarifikasi soal kehadirannya di acara tersebut.
Persoalan sebenarnya adalah keperluan penangkapan memang saat ini. Di tengah kasus HRS yang dalam proses pengadilannya, Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman sepertinya jadi target politik dengan alat hukum.
Penangkapan Munarman oleh pasukan Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon dan sederet pakar hukum menyebut mengada-ada. Menyeret dari rumah kediamannya dinilai melanggar HAM. Bahkan untuk memakai sandal saja tidak diberi kesempatan.
Dia seorang advokat, tentu perlakuan seperti itu di luar batas. Semestinya melalui proses pemanggilan hukum, tentu Munarman akan memenuhi. Tapi ini main gerebek rumah.
Jika kriminalisasi menjadi target ya apapun bisa dilakukan. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah. Bubuk deterjen pembersih di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Buku doa dapat menjadi bukti panduan syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati.
Sejak zaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat. Gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Dia juga pernah menjadi ketua Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang paham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika selalu menjadi subjek dan objek berita. Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman. Ia memiliki prinsip kehati-hatian hukum dalam penegakkan hukum.
Ya proses politik sedang berjalan. HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Menjadi pertanyaan umum, pemerintah sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan? Jika yang kedua, maka kriminalisasi adalah biasa.
Masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah berada di bawah bendera negara kekuasaan? Sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya?
Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme. Perlu dikawal proses yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tetap diberlakukan. (*)
Bandung, 28 April 2021
Editor Sugeng Purwanto