PWMU.CO – SPEAM lebih dari sekolah dan pesantren umumnya. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pasuruan Drs H Abu Nasir MAg.
Dia menyampaikannya saat memberikan sambutan pada Wisuda Pesantren SPEAM yang dilaksanakan di Rumah Makan Kebon Pring Pasuruan, Sabtu (24/4/2021)
Abu Nasir mengapresiasi SPEAM yang bisa menyelenggarakan wisuda secara luring dengan menerapkan protokol kesehatan masa pandemi dan sekaligus online.
Sejarah Sekolah Muhammadiyah
Dulu, lanjutnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah berdiri sebagai respon terhadap sekolah Belanda yang berseberangan secara diametral dengan pondok-pondok pesantren saat itu.
“Muhammadiyah telah memulai dan memberikan contoh bagi sebuah sistem pendidikan yang mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Belanda,” ujarnya.
“Berdirinya sekolah Muhammadiyah dengan memadukan secara epistemologis dan ontologis materi-materi ilmu pendidikan umum yang itu didapatkan di sekolah Belanda dan materi ilmu agama yang didapatkan di pesantren pada waktu itu,” tambahnya.
Dari waktu ke waktu, sambungnya, sistem sekolah-sekolah Muhammadiyah dari dulu sampai saat ini masih bisa survive dan berkompetisi dengan sekolah-sekolah lain.
“Sampai kemudian hadir masalah-masalah di dunia pendidikan. Di antaranya problem mutu, kualitas, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu lahir kegelisahan masyarakat terhadap bagaimana sebuah karakter bisa terbentuk melalui sistem sekolah,” paparnya.
Sekolah Terpadu sebagai Alternatif
Pada tahun 90-an, ujarnya, muncul sekolah-sekolah dengan model terpadu. Seolah-seolah ingin memberikan jawaban bahwa sekolah Muhammadiyah belum memadukan kedua unsur yang ada di sekolah Belanda dan sekolah yang ada di Pesantren.
“Karena itulah lahir sekolah-sekolah dengan model terpadu. Bahkan banyak sekolah yang sebenarnya tidak terpadu tapi namanya terpadu,” sergahnya.
Bagi Abu Nasir hadirnya sekolah-sekolah terpadu ini dalam salah satu pendidikan Islam cukup menghentakkan semua kalangan. Dan memunculkan pertanyaan bagi warga persyarikatan Muhammadiyah.
“Adakah yang kurang dalam pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah? Apakah sekolah-sekolah Muhammadiyah benar-benar mengintegrasikan ilmu pendidikan umum dan pendidikan agama sesuai dengan teori dan aliran pendidikan yang ada? Ataukah Muhammadiyah hanya menjadikan sekolah sebagai tempat menimba ilmu umum dan ilmu agama hanya tempelannya saja? Semoga tidak demikian,” paparnya.
Dia menambahkan sekolah yang ada saat ini hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan agama sebagai tempelan.
“Kebalikannya di pesantren yang ada madrasahnya hanya mengajarkan agama dan ilmu umum sebagai tempelannnya saja. Dan sekolah terpadu seakan menjadi jawaban atas semua itu,” jelasnya.
Lebih dari Sekadar Terpadu
Dari berbagai kenyataan tersebut Abu Nasir melihat ada kesadaran warga persyarikatan terhadap pentingnya menyelenggarakan sekolah yang lebih dari sekadar terpadu.
“Dan Muhammadiyah di akhir-akhir ini memunculkan kembali jati dirinya sebagai sebuah lembaga institusi pendidikan yang benar-benar penuh perhatian perlunya dicetak kader ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama,” tegasnya.
Fenomena ini, menurutnya, sesuai dengan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat PP Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi ketika meletakkan batu pertama pembangunan asrama SPEAM.
“Saat itu Pak Haedar mengatakan para santri lulusan SPEAM harus menjadi sosok ulul albab. Yaitu orang-orang yang punya kemampuan sebagai seorang intelek dan sekaligus dirinya sebagai seorang ulama,” ungkapnya.
Beda Sekolah dan Pesantren
Kata sekolah, paparnya, berasal dari bahasa Yunani School yang berarti free time. Plato dan Aristotel mengembangkan school dengan cara mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat. Maka diisilah pada saat itu dengan ilmu-ilmu tentang kehidupan.
“Baru pada masa Yunani kemudian berkembang menjadi sekolah yang berarti institusi. Sehingga sekolah adalah sistem formal yang memberi mata pelajaran umum,” ujarnya.
Sementara pesantren berasal dari kata pe-, santri dan -en. Santri berasal dari Bahasa Sansekerta Sastri yaitu orang yang mengetahui ilmu-ilmu agama Hindu. Kemudian diserap menjadi santri.
“Sehingga orang yang nyantri adalah orang yang mengerti ilmu-ilmu agama,” jelasnya.
Memadukan Unsur Sekolah dan Pesantren
Dia menegaskan Pesantren SPEAM dengan nama Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah kalau dimaknai sebenarnnya lebih dari sekedar sekolah formal yang diberi tambahan pelajaran agama. Juga lebih dari sekedar sebuah pesantren yang mengajarkan ilmu agama dan hanya ditambahi pelajaran umum supaya anak mendapatkan ijazah formal.
“Nama SPEAM melampaui itu semuanya. Karena SPEAM memadukan secara langsung antara unsur yang bersifat sekolah dengan pesantren,” ungkapnya.
Dari sini, lanjutnya, pesantren SPEAM itu berusaha untuk benar-benar menyatukan, memadukan dan mengintegrasikan tidak hanya dalam bentuk formal tetapi dalam bentul implementasinya isinya sekaligus dalam bentuk nilai-nilai dan hasil-hasilnya.
“Sehingga nantinya santri tidak hanya mencukupkan studi di SMP saja. Karena hasilnya akan kurang maksimal dari apa yang dikehendaki oleh nama pesantren SPEAM ini”, tuturnya.
“Sebagai informasi tambahan bahwa pada tahun ajaran baru nanti, SMA SPEAM akan mendapatkan ijin operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur,” tambahnya. (*)
Penulis Dadang Prabowo. Editor Sugiran.