Memeluk Islam karena Teka-teki, oleh Yus Sudarsih, peminat masalah sosial-kemasyarakatan.
PWMU.CO – Hari itu, Sabtu, di 2010. Seperti biasa, pagi itu adalah jadwalku memberikan kursus dan pelatihan merajut di sebuah lokasi TPA (tempat pembuangan akhir) di salah satu kawasan di Surabaya Timur. Entah ini pertemuan yang ke berapa.
Program ini berawal dari salah seorang murid rajutku, di stan tempat saya membuka usaha di salah sebuah plaza di Surabaya. Dia bercerita, di dekat rumahnya ada beberapa keluarga yang tinggal di sekitar TPA, yang, sepertinya, cukup memprihatinkan. “Barangkali Bu Yus mau membimbing ibu-ibu di sana belajar kerajinan. Siapa tahu bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup keluarga mereka,” demikian kata muridku tadi.
Setelah mendapat cerita yang lebih lengkap, aku pun tertarik. Selanjutnya, disepakatilah sebuah kegiatan bersama. Waktu yang dipilih, hari Sabtu pagi pukul 06.00 sampai 09.00. Tempatnya, di salah satu tanah lapang yang rindang dengan beralaskan tikar.
Sebuah Ikhtiar
Di masa awal, pesertanya terdiri dari ibu-ibu. Kemudian, ada beberapa anak dan remaja yang turut hadir. Semua mengikuti acara sepenuh antusias. Demikianlah, waktu terus berjalan.
Alhamdulillah, pada kesempatan yang seperti itu, di sela kegiatan merajut terkadang saya selingi dengan obrolan dan tanya-jawab tentang apa saja termasuk agama dan baca-tulis al-Quran. Bahkan, pelajaran sekolah seperti matematika dan bahasa Inggris.
Pendek kata, di kesempatan bertemu itu aku gunakan sebaik-baiknya. Intinya, sebisa mungkin ada tranfer nilai di dalamnya.
Kisah Penggugah
Sabtu itu yang hadir kebanyakan remaja putri. Setelah saling canda sembari tetap merajut, aku mulai berbicara.
“Anak-anak, sekarang Bu Yus mau bikin tebakan. Mau, nggak,” tanyaku.
“Mau Bu,” jawab mereka hampir serentak.
“Begini. Ada al-Quran, diletakkan di tengah karpet. Bagaimana cara kita mengambil al-Quran yang ada di tengah karpet itu tanpa menginjak atau merusak karpetnya,” tanyaku
Tampak semua yang hadir di situ berpikir. Di antaranya ada yang bilang, pakai tongkat atau kayu.
Selanjutnya, kubuat penjelasan. “Al-Quran itu pasti akan ‘dijaga’ sekelilingnya oleh umat Islam yang dimisalkan dengan karpet ini. Sekarang tolong kalian berdiri di luar karpet,” kataku.
“Permainannya,” kataku lebih lanjut, “bagaimana caranya kalian bisa mengambil al-Quran yang ada di tengah karpet ini tapi tidak boleh menginjak karpetnya.”
Anak-anak mulai berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akan tetapi tidak ada yang berhasil.
Akhirnya, kuberikan jalan keluar. Perlahan-lahan kugulung karpetnya dan kuambil al-Qur’an itu dan kutukar dengan sebuah buku.
“Anak-anak, begitulah gambaran umat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh umat Islam tidak akan menginjak kalian dengan terang-terangan karena tentu kalian akan menolak dan menentangnya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tetapi musuh umat Islam akan ‘menggulung’ kalian perlahan-lahan dari pinggir, sedemikian rupa kalian tidak sadar,” demikian penjelasanku.
“Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka mulailah dengan membangun fondasi yang kuat. Jika kemudian ada yang ingin membongkar rumah itu, tentu akan susah sekali andai langsung merusak fondasinya. Akan lebih mudah jika ‘perusakan’ dimulai dari hiasan dinding, lemari, kursi, dan lain-lain. Semua itu, dipindahkan terlebih lebih dahulu, baru rumahnya bisa dihancurkan,” lanjutku.
“Begitulah, musuh-musuh umat Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi secara perlahan-lahan akan meletihkan kalian. Mereka memulainya dengan merusak dari cara hidup, misal dalam hal cara bergaul dan berpakaian. Pada akhirnya, meski kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan syariat Islam sedikit demi sedikit. Keadaan seperti itulah yang mereka inginkan,” demikian penjelasan itu kulengkapi.
“Kenapa mereka tidak terang-terangan, Bu, tanya salah satu peserta.
“Sesungguhnya mereka pernah melakukan penyerangan terang-terangan. Misalnya saat Perang Salib. Namun yang terjadi sekarang, tidak lagi seperti itu. Hal itu, agar kita tidak menyadari kalau sebetulnya kita sedang dihancurkan,” jawabku.
“Demikian, anak-anakku semua. Insyaallah Sabtu depan Bu Yus lanjutkan dengan cerita yang lain,” demikian aku menutup acara.
Kejutan Itu
Selang beberapa hari, teleponku berdering. Siapa gerangan?
“Halo, Bu Yus,” seseorang menyapa di seberang sana.
“Saya Anna, Bu. Apa bisa saya menemui Ibu,” lanjut suara di seberang.
Rupanya, Anna yang menelepon. Dia adalah remaja salah satu peserta pelatihan di TPA itu.
Setelah bertemu, banyak hal yang dia tanyakan. Itupun berlangsung beberapa kali, di stan di tempatku membuka usaha.
Hal yang paling berkesan adalah ketika dia menyampaikan keinginannya untuk menjadi muallaf. Masyaallah, ternyata aku baru tahu bahwa dia yang selama ini tampak antusias dengan obrolan kami tentang Islam ternyata seorang non-Muslim.
Sungguh, bila Allah berkehendak memberi hidayah, manusia hanya bisa berucap: Subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni