PWMU.CO– Amandemen UUD 1945 menyisakan masalah yang menjadikan Indonesia kehilangan jati diri. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi dalam pidato kebangsaan yang ditayangkan TVMu dan CNN Indonesia, Senin (30/8/2021).
”Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang asli,” kata Haedar Nashir.
Dia menekankan, jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancangbangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun silam.
Ketika bertumbuh gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara, kata dia, maka berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri.
Dia menyerukan, tumbuhkan jiwa dan alam pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata dengan keteladanan.
Menurut dia, Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan. Ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik.
”Di sinilah pentingnya hikmah kebijaksanaan para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar ragad fisik, tetapi menurut Mr Soepomo, Indonesia yang ”bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama,” tandasnya.
Masalah Bangsa
Sebelumnya Haedar menyampaikan, ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah radikalisme-ekstremisme yang pro-kontra dalam pandangan.
Dia juga menyebut masalah penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, kehadiran media sosial yang memproduksi persoalan baru, masalah utang luar negeri dan investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi.
Secara khusus, kata dia, tentu masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat. Narasi atas masalah-masalah bangsa tersebut tentu tidak mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode.
Menurut dia, pada situasi yang krusial inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia.
Dia menerangkan, Indonesia moderat kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai philosophische grondslag atau Weltanschauung yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak pidato Sukarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika.
”Menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer laksana air dan minyak. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila,” tegasnya.
Darul Ahdi
Haedar menyampaikan, konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sanarahgatlah besar, dengan kesediaan melepas tujuh kata di Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama Ketuhanan Yang Mahaesa. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”.
”Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah,” katanya.
”Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat,” tuturnya.
Dituturkan, ketika Sukarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau jalan tengah. Mengenai nasionalisme atau kebangsaan, Sukarno menegaskan, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula bahaya nasionalisme. … Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham Indonesia uber Alles.
Haedar Nashir mengingatkan pesan Bung Karno dalam pidato 1 Juni. ”Menurut Bung Karno, kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
”Demikian halnya tentang sila Kesejahteraan, menurut Bung Karno, prinsipnya: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Soekarno bertanya retorik, ”Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya?”
”Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?” kata Haedar Nashir mengutip pidato Bung Karno. (*)
Editor Sugeng Purwanto