PWMU.CO– 8 hikmah pandemi diungkap oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi dalam Resepsi Milad ke-109 Muhammadiyah yang digelar online dan offline di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (18/11/2021).
Haedar Nashir menyampaikan, pandemi Covid-19 memberi pelajaran yang berharga tentang pentingnya manusia menjaga kehidupan dan memeliharanya.
Dia mengutip firman Allah swt dalam al-Maidah ayat 32:
”Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Haedar mengajak untuk meletakkan persoalan pandemi dalam dimensi iman, tauhid, dan hablumminallah yang terhubung langsung dengan hablumminannas, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang hakiki.
Haedar menegaskan, “Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai sebagaimana cara pandang materialisme!”
Pandemi itu masalah bersama, sambungnya, niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama, al-qiyam al-fadhiilah,” terangnya
Nilai Tauhid
Kemudian Haedar memaparkan 8 hikmah pandemi yang mengandung nilai-nilai utama. Pertama, nilai ketauhidan untuk kemanusiaan. Dari musibah Covid-19, menurutnya dapat memetik hikmah untuk menguatkan keyakinan tauhid kaum beriman.
“Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini sungguh dalam kekuasaan Allah. Hidup dan mati dengan segala siklusnya berada dalam genggaman-Nya. Manusia sungguh kecil dan tak berdaya. Maka tegak luruskan pengabdian kepada Allah, seraya cerahkan akal budi untuk mencerahkan kehidupan,” jelas guru besar UMY ini.
Bertauhid, lanjutnya, meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. “Tauhid adalah ajaran multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam,” ungkapnya.
Nilai Pemuliaan Manusia
Kedua, nilai pemuliaan manusia. Haedar menyatakan, pandemi Covid-19 memberi arti tentang pentingnya memuliakan manusia beserta jiwanya agar dihargai dan diselamatkan. Pun sebaliknya, jangan disia-siakan dan direndahkan.
“Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Manusia jangan dianggap hanya sebagai raga inderawi semata,” tutur bapak dari dua anak itu.
Dia mengingatkan, Islam, sesuai at-Tiin ayat 4, menempatkan manusia fii aḥsani taqwiim. Yaitu, manusia sebaik-baik ciptaan Tuhan. Karenanya, dia menekankan manusia sendiri harus bermartabat. “Jangan saling menghinakan dan menganut paham merendahkan,” imbaunya.
Kata Haedar, manusia modern bila salah kaprah dan tidak memiliki fondasi nilai luhur agama, terjerembab di hidup nirkeadaban. Dia lantas mengutip pendapat sosiolog Peter L Berger. “Manusia modern yang kehilangan agama, terjebak dalam chaos,” ungkap pria kelahiran Bandung, 25 Februari 1958 itu.
Chaos yaitu hidup yang kacau di mana yang benar disalahkan, tapi yang salah dapat dukungan luas. “Seperti hidup di era post truth atau seperti di zaman kalabendu (sebagaimana tertulis pada Ramalan Jayabaya),” ujarnya.
Nilai Persaudaraan
Ketiga, nilai persaudaraan dan kebersamaan. “Setiap orang tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah, perlu jiwa persaudaraan dan kebersamaan dalam menghadapinya. Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa,” ujar Haedar.
Jika ditanggung bersama, lanjut Haedar, maka akan lebih mudah. Ini seperti pepatah, ”Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Bila ada perbedaan, cari titik temu karena sesama kita bersaudara.
Haedar menekankan, ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah bangsa secara bersama.
Nilai Kasih Sayang
Keempat, nilai kasih sayang. Haedar menilai, pandemi mengajarkan untuk memiliki sikap hidup welas asih terhadap sesama. “Islam mengajarkan tarahum atau cinta kasih yang lahir dari yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta‘āwun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan,” terangnya.
Jika tidak mau membantu sesama, kata Haedar, jangan bertindak semaunya. Begitu pula jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, dia menegaskan jangan menjadi bagian dan menambah masalah.
Haedar mengingatkan pada pendapat dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924. “Ajaran welas asih, ajaran al-Ma’un, berbeda dengan seleksi alam ala Charles Darwin di mana mereka yang kuat, yang akan mampu bertahan dalam perjuangan ini,” jelas Haedar.
Dia mengungkap sebaliknya, “Ajaran welas asih al-Ma’un mendasarkan perjuangan hidup dalam semangat kebersamaan sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah.”
Nilai Tengahan
Kelima, nilai tengahan atau moderat. Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 maupun berbangsa dan bernegara mengembangkan wasathiyah (sikap tengahan, adil, tidak ekstrem).
“Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai wasathiyah yang memiliki prinsip dan autentik,” ungkap Haedar.
“Moderasi dan usaha melawan radikal ekstrem dalam pandangan Muhammadiyah harus ditegakkan secara moderat untuk semua aspek!” tegasnya.
Jangan sampai, atas nama moderat dan moderasi, membenarkan apa saja dan menjurus pada hal-hal ekstrem.
Nilai Kesungguhan
Keenam, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung jawab bersama.
“Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan oleh seluruh warga bangsa, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini,” papar dia.
Dia mengingatkan, segala ikhtiar maksimal harus terus dilakukan sebagai jalan jihad mengakhiri musibah ini dan menyelesaikan masalah negeri.
Nilai Keilmuan
Ketujuh, nilai keilmuan atau ilmiah. Menurut Haedar, pandemi meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan.
“Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, ahli vaksin, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus yang mengguncang dunia ini,” tuturnya.
Bangsa Indonesia, kata dia, yang penting harus menghargai ilmu sebagai jalan kemajuan hidup. “Ilmu pengetahuan dan teknologi penting disertai hikmah agar tidak mengarah pada keangkuhan ilmuwan dan absolutisme kebenaran,” ujarnya.
Dia mengimbau, ilmu dan pikiran manusia modern jangan seperti kotak pandora dalam mitologi Yunani Kuno. “Yang memberikan harapan indah akan kebaikan tetapi setelah dibuka ternyata menjadi sumber masalah bagi kehidupan umat manusia,” ujarnya.
Nilai Kemajuan
Kedelapan, nilai kemajuan. Pandemi meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas, serta membangkitkan diri untuk maju pascamusibah.
Haedar mengatakan, Tuhan mengajari manusia dengan berbagai jalan. “Musibah boleh jadi merupakan jalan Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaan-Nya,” ujarnya.
Dia menilai, dari 8 hikmah pandemi di sinilah pentingnya membangkitkan nilai dan etos kemajuan bagi seluruh manusia atas musibah yang mewabah di seluruh muka bumi ini. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Sugeng Purwanto