Jadi Guru Jangan karena Panggilan Sertifikasi; Liputan Mohamad Su’ud, kontributor PWMU.CO Lamongan.
PWMU.CO – Banyak sekolah yang dulu besar sekarang kecil, dulu siswanya ribuan sekarang ratusan. Sebaliknya, dulu kehabisan murid, sekarang menjadi pilihan utama lulusan SMP/MTs.
Fenomena ini disampaikan oleh Fathurrahim Syuhadi dalam acara PPDB Move on, yang dilaksanakan oleh SMK Muhammadiyah 6 Modo Lamongan, Jumat (13/5/2022).
Menurut Mas Rahim—panggilan akrabnya—menghadapi gejala seperti ini, harus ada langkah-langkah revolusi, bukan biasa saja. “Langkah yang bijaksana adalah melakukan evaluasi ke dalam, baik mulai dari pimpinan sekolah dan guru,” tandas Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan ini.
Menurut dia, kekompakan merupakan kunci utama dalam membangun dan mengembangkan sekolah untuk menjadikan sekolah bermartabat dan berdaya saing.
Peran Guru untuk Kemajuan Sekolah
“Bapak dan Ibu mengajar sebagai panggilan jiwa atau mengejar materi,” pertanyaan Mas Rahim membuat 20 guru yang hadir tersentak dan terdiam. Salah satu yang dimaksud materi ada tunjangan profesi pendidik (TPP) bagi gutu yang sudah memiliki sertifikasi pendidik.
Lalu dia melanjutkan, bahwa seorang guru Muhammadiyah harus memiliki jiwa ikhlas. Tanpa ikhlas, kata dia, akan cepat lelah dan frustasi.
“Salah satu tips sederhana adalah selalu menjaga kemurnian dalam berjuang. Menjadikan mengajar sebagai panggilan jiwa”, jelas ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Lamongan, periode 1990-1992.
Dengan jiwa yang ikhlas dan lapang dada dari seluruh guru dan karyawan, akan menjadikan lembaga sekolah mempunyai ruh, sehingga ruh kemajuan akan mudah diraih.
Selain itu, kata Mas Rahim, mengajar niatkan untuk mengamalkan ilmu agar ilmunya berkah dan bermanfaat bagi yang lain.
Semua Guru adalah Pendakwah
Mas Rahim, menjelaskan hakikatnya semua orang itu guru, tidak harus mengajar di kelas.
Termasuk, guru Muhammadiyah juga sebagai mubaligh. “Orang yang mengajak kebaikan, memberi contoh adalah pendakwah,” tekan Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Lamongan, periode 1999-2003.
Dia menceritakan ketika menjadi guru Muhammadiyah di desa kelahirannya: Payaman, Solokuro. Dia berjumpa dengan berbagai model siswa, yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan.
“Mereka akan menjadi lahan dakwah, kita bisa mengajari shalat, baca al-Quran, sopan santun, dan seterusnya. Siapa tahu diantara mereka akan menggandeng kita ke pintu surga,” tegasnya dengan intonasi serius. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni