2. RSUD dr Soewandhie Surabaya
Pada November 1945, saat Belanda membonceng sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Surabaya menjadi lautan darah. Selama sebulan, terjadi pertempuran face to face antara Sekutu dan rakyat Surabaya. Ribuan orang gugur dalam pertempuran yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan itu, serta tidak terhitung berapa korban yang terluka. Keahlian kedokteran Indonesia yang masih minim, membuat tidak banyak orang yang tampil sebagai sosok menonjol. Salah satunya adalah dr Moehammad Soewandhie.
Peran Soewandhie bisa dikata cukup dominan dalam memberi penanganan kesehatan korban perang karena posisinya sebagai koordinator Kesehatan Urusan Perang di Korp Palang Merah. Selain merawat dan menguburkan jenazah korban perang, seksi ini bersama masyarakat juga membuat dapur umum untuk mendukung kelancaran perjuangan kemerdekaan. Selain itu, pascapertempuran 10 November 1945, Soewandhie memimpin ‘pembookingan’ jawatan kereta api untuk mengungsikan pasien ke luar kota.
Saat itulah hampir tidak ada waktu baginya untuk istirahat sejenak sekalipun. Siang dan malam dihabiskan untuk menggordinir petugas medis menggotong korban ke stasiun Gubeng, untuk diberangkatkan ke rumah sakit luar Surabaya. Tidak hanya itu, seksi yang dipimpinnya juga melakukan pengungsian massal dengan alat transportasi apapun: mobil, dokar, hingga cikar. Tak ketinggalan, diapun ‘terpaksa’ ikut mengungsi serta mendirikan beberapa rumah sakit darurat di pengungsian.
(Baca: Ternyata, Ada 4 Tokoh Muhammadiyah Jatim yang Diabadikan sebagai Nama Rumah Sakit Pemerintah)
Salah satu putra Muhammadiyah ini lebih banyak dikenal kiprahnya di dunia kesehatan. Padahal jauh sebelumnya, Soewandhie adalah tokoh pergerakan nasional yang gigih. Dia juga sempat tercatat sebagai anggota perkumpulan pemuda yang dianggap cikal bakal gerakan nasionalisme Indonesia yaitu Jong Java.
Suami dari Iniek Ismari yang dinikahinya di Kediri pada 28 Mei 1929 ini, selalu berada pada lintasan sejarah kebangsaan. Dari zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, kiprahnya terus konsisten memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan, ketika masa Jepang, Soewandhie bersama beberapa tokoh surabaya kala itu seperri Roeslan Abdulgani, Dul Arnowo, dan Sungkono selalu berkumpul untuk mengatur strategi menyongsong kemerdekaan 17 Agustus 1945. Rumahnya di jalan Anjasmoro 20 Surabaya merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh tersebut sebagai tempat rapat rahasia.
Sebagai tokoh yang berpandangan modern, Soewandhie akhirnya memilih bergabung dengan Muhammadiyah. Sebagai generasi Islam dia merasa perlu memiliki perkumpulan Islam. Disamping itu, Muhammadiyah seakan membuatnya nyaman karena dekat dengan amal-amal shaleh kepada sesama. Salah satu kecocokannya di Muhammadiyah kemudian semakin menjadikan dia sebagai tokoh pelopor kesehatan kala itu.
Di Muhammadiyah dia seperti mendapatkan ruang. Dia terlibat menjadi pengasuh balai kesehatan di Kampementstraat (Jl. KH Mas Masur) mulai tahun 1926. Bahkan, dalam periode kepemimpinan Muhammadiyah Surabaya 1962-1964, dirinya sempat dipercaya sebagai Ketua PD Muhammadiyah. Karena dia kemudian terpilih sebagai ketua Muhammadiyah cabang Surabaya Tengah (satu tingkat di bawah PD), dia memilih sebagai Ketua Cabang tersebut. Sementara untuk ketua PDM Kota Surabaya dijabat HM. Anwar Zain.
Pilihannya menjadi dokter ternyata menjadi panutan di dunia kedokteran, terutama pengabdiannya pada rakyat. Untuk mengenang jasanya sebagai seorang Dokter yang sekaligus seorang pejuang, pemerintah Kota Surabaya mengabadikan namanya sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kawasan Tambakrejo. Sosok yang wafat 16 Maret 1987, juga berperan dalam dunia olah raga di Surabaya: salah satu pendiri Surabayase Inlandsche Voetbalbond (SIVB) yang kini berubah menjadi Persebaya.
selanjutnya halaman 4…