Tidak tahu ceritanya, karena lupa, saya dan Gus Aminuddin ada acara di Surabaya (saat itu saya masih kuliah S2 di Unair Surabaya), karena kemalaman, akhirnya Gus Aminuddin mengajak bermalam di Kantor PWNU Jl. Darmo. Masih ingat, waktu Gus Aminuddin bilang nanti kita tidur di ruang yang biasa Kiai Hasyim istirahat kalau pas kemalaman. Saat itu saya setengah menolak. Takut kualat, maklum pernah nyantri (haha).
Untuk meyakinkan, Gus Aminuddin bilang, “Tidak apa-apa, kalau pun Kiai Hasyim ada dan tahu pun tidak apa-apa.” Waktu itu pun disampaikan bahwa sangat mungkin malam itu Kiai Hasyim akan singgah sebentar ke Kantor PWNU.
(Baca juga: Dituding Sektarian, Ternyata Mendikbud sudah Lama Praktikkan Sikap Multikultural)
Dan benar, ketika kami memutuskan nginep dan tidur di ruangan Kiai Hasyim, dini hari itu Kiai Hasyim mampir ke Kantor PWNU dan masuk ke kamar tempat saya tidur. Saya pun dibuat malu. Namun yang bikin ayem, karena sikap arif Kiai Hasyim. Ketika itu Kiai Hasyim bilang “teruskan tidurnya, saya cuma sebentar saja, ambil surat.” Seingat saya waktu itu Kiai Hasyim baru kembali dari keliling daerah dan akan melanjutkan perjalanan ke kediamannya di Malang.
Pertemuan keempat dan berikut-berikutnya tentu terjadi di banyak tempat dan kegiatan, namun lebih sering terjadi di acara-acara Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, Kiai Hasyim itu sosok yang dalam banyak perspektifnya tentang Muhammadiyah menyerupai Gus Dur. Selain itu, ada ketulusan juga dalam menjalin relasi dengan Muhammadiyah. Ketulusan Kiai Hasyim ini kemudian lebih nyambung lagi karena Ketua Umum PP. Muhammadiyah yang seangkatan dengan Kiai Hasyim adalah Abangda Din Syamsuddin, sama-sama alumni Pesantren Gontor. Selain tentunya Abangda Din Syamsuddin juga punya latar belakang NU.
(Baca juga: Ketika Dua Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul)
Hubungan yang seperti ini menjadikan jalinan ukhuwah Muhammadiyah dan NU di era Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim menempati pada posisi yang sangat harmonis. Secara pribadi hampir-hampir tak ada sekat antara Kiai Hasyim dengan keluarga besar Muhammadiyah. Bahakan Muhammadiyah bagi Kiai Hasyim seperti sudah menjadi “rumah” kedua setelah NU.
Abangda Din Syamsuddin sendiri seperti sudah menganggap Kiai Hasyim sebagai kakaknya. Pernah dalam perbincangan terbatas, saat itu selepas Kiai Hasyim tidak lagi menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan gagal menjadi Rais ‘Am Syuriah PBNU (Pasca Muktamar Makassar 2010), Abangda Din Syamsuddin meminta agar dalam setiap kegiatan PP Muhammadiyah yang memungkinkan untuk mengundang Kiai Hasyim, maka undanglah.
Konteks pesan Abangda Din Syamsuddin adalah semata untuk menghormati dan mengorangkan Kiai Hasyim. Maka hampir di dalam kegiatan Muhammadiyah yang memungkinkan Kiai Hasyim diundang, pun Muhammadiyah mengundangnya.
(Baca juga: Ketika MU dan NU Tidak Saling Bertanding … Fenomena Jepara)
Karena hubungan yang begitu dekat ini, maka ketika mendapat berita atas wafatnya KH. Hasyim Muzadi, saya dan pasti keluarga besar Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya merasa sangat kehilangan. Saya dan warga Muhammadiyah pasti merindukan “kemesrahan” yang berhasil dijalin di era kepemimpinan Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim.
Akhirnya, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Selamat jalan KH. Hasyim Muzadi, selamat menghadap ke Sang Khalik. Semoga dengan keadilan-Nya, Allah tempat di singgasana surga-Nya yang paling layak. Aamiin. (*)