Menjiwai Piagam Jakarta oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan pendiri Rosyid College of Arts
PWMU.CO – Di tengah upaya keras Jokowi mengundang investor asing ke IKN baru untuk memastikan bahwa Jakarta akan ditinggalkan sebagai Ibu Kota Negara, hari ini saya menyaksikan bagaimana Piagam Jakarta dimaknai kembali sebagai peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Sambil membedah buku 1 Negeri 3 Proklamasi karya Dr Nunu A. Hamijaya, kita bisa memahami bagaimana pergolakan pemikiran para pendiri bangsa Indonesia terjadi.
Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 merupakan salah satu kekayaan nir-benda terbesar yang tidak bisa dipindahkan ke IKN Nusantara. Sebagai kesepakatan para negarawan paling terdidik bangsa majemuk ini, termasuk Agus Salim dan AA Maramis, Piagam Jakarta bisa disetarakan dengan Piagam Madinah yang menandai kelahiran sebuah metropolitan paling canggih melampaui Roma dan Konstantinopel pada zamannya.
Mempelajari sejarah tidak boleh dijadikan alasan untuk bersembunyi dari kegagalan dan kekalahan umat Islam dalam percaturan politik sejak Dekret Presiden Soekarno 1959 hingga hari ini.
Langkah Soekarno yang kemudian menangkapi Natsir dan Hamka, memberi kekuasaan bagi Aidit dan Nyoto, kemudian terbukti sebagai blunder paling monumentalnya. Jika UUD adalah bukti keberadaan sebuah negara baru, maka dekret itu boleh dikatakan sebagai reproklamasi RI Nasakom. Sekalipun Piagam Jakarta dijadikan konsideran penting dekret, sejak itu Islam justru ditempatkan sebagai musuh oleh Soekarno dan dilumpuhkan Soeharto.
Jika Dekret 1959 itu mengakhiri perjuangan Masyumi bagi sebuah negara berdasarkan Islam, 78 tahun kemudian beberapa tokoh publik menyatakan secara terbuka bahwa mereka keturunan PKI, mengaku komunis, sementara Surya Paloh mengatakan bahwa bangsa ini kapitalis liberal, dan individualis malu-malu.
Ekspresi Islam di ruang publik dituduh intoleran, bahkan anti-Pancasila, padahal sejak UUD 2002 berlaku, Pancasila sudah dikubur di bawah kaki kaum kiri dan nasionalis sekuler radikal. Dengan Keppres 17/2022, menguat pesan bahwa kehidupan politik nasional saat ini mirip dengan kehidupan politik era Bung Karno menjelang kejatuhannya.
Deformasi kehidupan sejak UUD 2002 berlaku menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat di tangan MPR telah dibajak oleh partai politik yang logistiknya dipasok oleh para cukong melalui maladministrasi publik.
Pembuatan UU oleh para bandit dan badut politik di pusat kekuasaan, bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan para bandar politik.
Umat Islam sebagai mayoritas selalu dijadikan alat legitimasi bagi Pemilu yang selalu memilukan mereka sendiri. Jika kaum kiri dan nasionalis sekuler radikal melalui kudeta konstitusi diam-diam memproklamasikan RI berdasarkan UUD 2002, maka dengan semangat zelfbestuur HOS Tjokroaminoto, umat Islam bangsa Indonesia memiliki legal standing untuk memperjuangkan proklamasi negeri baru dengan kembali ke Piagam Jakarta yang mengamanahkan pada negara untuk menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Piagam Jakarta adalah bukti bahwa umat Islam mencintai bangsa Indonesia yang bhinneka tunggal ika, dan menjadi garda depan pejuang kemerdekaan melawan kekuatan nekolimik kapitalis maupun komunis.
Di tengah haru biru dan politik saat ini alangkah bijaknya kita menjiwai Piagam Jakarta lagi seperti disebut dalam Dekret Presiden.
Editor Sugeng Purwanto