PWMU.CO – Ranting jadi ujung tombak dan tombok Muhammadiyah dikatakan Prof Dr Biyanto MAg dalam Raker dan Capacity Building PCM Sidoarjo.
Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sidoarjo menggelar Rapat Kerja (Raker) dan Capacity Building di Tanjung Plaza Hote Tretes, Prigen, Pasuruan. Kegiatan bertema “Sinergi dan Transformasi Pimpinan dalam Membumikan Islam Berkemajuan di Sidoarjo”, itu dilaksanakan pada Sabtu-Ahad (13-14/1/24).
Pada materi kedua, Prof Dr Biyanto menyampaikan “Ideologi Muhammadiyah serta Tantangannya”. Menurut Pak Bi—sapaannya—kata kunci Muhammadiyah adalah bergerak. “Melalui gerakannya, Persyarikatan sudah melebarkan sayapnya hingga sekarang ada 29 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah (PCIA),” ujarnya.
Pak Bi kemudian bercerita bahwa orang Muhammadiyah itu banyak yang dermawan. “Ranting itu menjadi ujung tombak dan tombok (memberikan uang) untuk Muhammadiyah, tapi itulah istimewanya Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah cenderung dermawan. Hebatnya selalu ada orang kaya yang dermawan dan selalu ada saudagar yang dermawan,” katanya sembari menyebut perjuangan orang-orang Lamongan menghidupkan Persyarikatan di Malaysia.
Ideologi Muhammadiyah
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu menyebut ideologi adalah seperangkat nilai yang dijadikan sebagai rujukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan secara bersama. “Mau dibawa ke mana PCM Kota Sidoarjo ini. Kemana akan berlabuh? Kalau tujuan sudah ditetapkan maka ada strategi, nilai-nilai, dan falsafah, itulah yang disebut ideologi. Ideologi itu bersifat sangat dinamis,” jelasnya
Dia menjelaskan, dulu diawal-awal berdirinya Muhammadiyah itu mempunyai prinsip sedikit bicara, banyak bekerja, tetapi sekarang tidak bisa seperti itu. “Kata Pak Haedar, ideologi itu harus diubah menjadi banyak bekerja juga banyak bicara,” paparnya.
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut menambahkan konteks perumusan ideologi, “Ideologi gerakan islam, apa pun namanya, pasti merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi ada pertanyaan penting bagaimana kita mau kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah, pendekatan apa yang mau dipakai,” tambahnya.
Dia lalu memberi contoh, ada hadits nabi, berpuasalah kamu tatkala kamu melihat bulan, dan berhari rayalah kamu tatkala kamu melihat bulan. “Pertanyaannya, bagaimana kita memaknai hadis, apa makna rukyat pada hadits? Apa rukyat itu dipahami melihat dengan mata, atau harus dipahami rukyat melalui ilmu?” tanyanya.
Rata-rata Muhammadiyah memaknai rukyat melalui ilmu. Kita bisa tahu 150 tahun ke depan atau seribu tahun ke depan, Muhammadiyah dengan ilmunya bisa memastika kapan puasa, kapan hari raya, karena rukyatnya dengan ilmu. “Maka, saya mengusulkan sesekali Menteri agama itu sesekali perempuan, supaya tidak rebutan melihat bulan itu, karena perempuan sudah terbiasa,” candanya disambut gerr peserta.
Dia menambahkan konteks perumusan ideologi, yaitu selalu ada keyakinan munculnya mujadid pada periode tertentu, yang bisa itu memperbarui pemaknaannya, bukan agamanya. “Dimensi Islam sebagai agama universal sekaligus penutup semua ajaran Nabi dan Rasul Allah SWT,” ungkapnya.
Konflik Kepentingan
Prof Biyanto menjelaskan bahwa di Muhammadiyah ada berbagai wajah Muhammadiyah, “Ada Muhammadiyah-NU (MUNU), Suaminya Muhammadiyah, istrinya NU. Ada Muhammadiyah-Marhaenis, Muhammadiyah-Salafi (Musa), Muhammadiyah Rasa Salafi (Mursal),” jelasnya.
Selain itu tantangannya ada konflik-konflik kepentingan. Terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaran amal usaha Muhammadiyah (AUM). Di AUM banyak singgungan, kalau bekerja di AUM berlaku hukum Muhammadiyah, di Muhammadiyah ada aturan-aturan.
Prof Bi menambahkan tantangan moderasi beragama, karena bukan agamanya yang dimoderasi, tetapi pemahamannya, penafsirannya, agar tidak ekstrem kanan maupun kiri, tapi di tengah-tengah. “Pak Haedar berpesan, agar dalam bersikap, warga Muhammadiyah memiliki sifat tengahan. Yakni sebagaimana tercermin dalam 10 sifat kepribadian Muhammadiyah. Karakter Muhammadiyah sebagai organisasi moderat-berkemajuan dan modernis-moderat,” jelasnya. (*)
Penulis Mahyuddin. Editor Darul Setiawan.