PWMU.CO – Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Prof Dr Khozin Msi mengatakan agama dan sains itu harmonis.
Hal ini disampaikan dalam kegiatan Kuliah Ahad Subuh yang berlangsung di Masjid AR Fachruddin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ahad (26/5/2024).
“Man arada al-akhirata fa ‘alaiha bi al-‘ilmi. Barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat yang baik, maka hendaklah berilmu,” motivasinya mengawali maqalah Islam.
Dekan FAI UMM ini berpesan kepada peserta KAS agar membiasakan salat sunnah saat memasuki masjid. “Kalau masuk masjid itu jangan langsung duduk dan main HP. “Shalat tahiyyat masjid baru setelah itu duduk santai ga apa-apa. Itu ilmunya begitu ya,” jelasnya.
Dia menjelaskan, rakataini qabla fajri khairun min addunya wa ma fiiha. Hadits ini menunjukkan bahwa salat sunnah qabliyah subuh memiliki keutamaan yang luar biasa. Bahkan lebih baik daripada segala kenikmatan dunia dan isinya.
“Jadi, beragama itu semua ada ilmunya,” tegasnya di hadapan mahasiswa dari lima prodi, yakni Teknik Informatika, Akuntansi, Fisioterapi, Ekonomi Pembangunan, dan Ilmu Pemerintahan.
Dalam materi tentang Integrasi Ilmu: Konsep dan Implementasi, dia mengungkapkan relasi sains dan agama dalam Islam.
“Islam agama ilmu. Islam tidak pernah mempertentangkan sains. Mereka satu kesatuan dan tidak perlu dipertentangkan. Tapi kalau di Barat keduanya harus dilakukan integrasi. Karena bagi mereka itu doktrin gereja,” ungkapnya.
Agama dasarnya adalah wahyu, sementara sains berdasarkan hukum-hukum alam, atau sering disebut al-kaun. “Saintis memulai sesuatu dari keragu-raguan, sementara agamawan memulai sesuatu dari keyakinan,” katanya.
Dalam peradaban Barat, lanjutnya, pada mulanya kebenarana sains bukan termasuk kebenaran agama. Sains beroperasi melalui metode empiris yang melibatkan observasi, eksperimen, dan verifikasi. Ia berusaha menjelaskan fenomena alam melalui hukum-hukum alam dan proses-proses yang bisa diamati dan diukur.
Sementara kebenaran agama menggunakan metode yang melibatkan wahyu, teks suci, tradisi, pengalaman spiritual, bersifat absolut dan tidak berubah. Seringkali ia didasarkan pada iman dan keyakinan, yang tidak selalu membutuhkan bukti empiris sebagaimana kebenaran sains.
Tapi, sambungnya, kemudian Islam meyakini bahwa sains dan Islam bisa disatukan. Sebagaimana pandangan Ismail Raji al-Faruqi. Dia seorang sarjana dan pemikir Muslim yang terkenal dengan gagasannya tentang Islamisasi pengetahuan.
“Konsep ini mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam ke dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern,” tuturnya.
Aada seorang teolog dan Profesor di bidang fisika yang terkenal dengan kontribusinya dalam dialog antara sains dan agama. Dia adalah Ian G Barbour, yang membedakan empat pendekatan utama untuk menjelaskan hubungan antara sains dan agama.
Pertama, hubungan antara sains dan agama adalah konflik. Pendekatan ini menekankan adanya pertentangan yang tak terelakkan antara sains dan agama.
Kedua, hubungan antara sains dan agama bersifat independent. Pendekatan independensi menyatakan bahwa sains dan agama adalah domain yang sepenuhnya terpisah dengan pertanyaan dan metode mereka masing-masing.
Ketiga, antara sains dan agama itu bersifat dialog. Pendekatan dialog menekankan bahwa meskipun sains dan agama berbeda, mereka masih bisa berkomunikasi, diverifikasi dan saling melengkapi. Dalam pendekatan ini, sains dan agama dilihat sebagai dua perspektif yang bisa memberikan wawasan yang lebih kaya ketika digabungkan.
Keempat, hubungan sains dan agama adalah integrasi. Pendekatan integrasi mencoba untuk menyatukan wawasan dari sains dan agama ke dalam suatu kerangka kerja yang kohesif. Pendukung pendekatan ini berupaya menemukan keselarasan antara ajaran agama dan penemuan ilmiah.
Di hadapan mahasiswa, sia berpesan agar bersungguh-sungguh dalam belajar dan banyak mengambil inspirasi ilmu dari al-Quran.
“Belajar menguasai satu ilmu itu perlu fight, perlu struggle (perjuangan). Anda harus punya cita-cita, saya harus bisa menundukkan ilmu ini. Dan meskipun pada akhirnya tidak pernah bisa menundukkan. Karena, orang yang semakin dalam pengetahuannya semakin luas tentang ilmu maka semakin merasa, sepertinya belum tahu apa-apa,” pesannya. (*)
Penulis Anny Syukriya. Editor Ichwan Arif.