Penulis Holy Ichda Wahyuni-Penulis dan Dosen PGSD UM Surabaya
PWMU.CO – Kegagalan dan menormalisasi sebuah kegagalan adalah hal yang cukup penting dalam kurva hidup seseorang. Siap gagal selama ini menjadi frasa yang dianggap berkonotasi negatif, cenderung dihindari, dan jarang digunakan.
Hal ini bermakna bahwa individu selalu dibentuk untuk menjadi pemenang. Padahal kumpulan kegagalan, dan sikap dewasa dalam merespon setiap fase kegagalan adalah proses untuk menuju sebuah hasil juga.
Penting sekali untuk direnungkan tentang pembelajaran untuk membangun kesadaran bahwa ada waktu dimana kehidupan ini tidak harus seperti apa yang kita kehendaki. Bahwa ada waktu dan tempat juga dimana tidak semua orang akan menyukai kita dan bertindak seperti yang kita inginkan.
Baru-baru ini media dikejutkan dengan berita seorang remaja (mahasiswa) yang mengakhiri hidupnya karena tidak siap hidup kesepian, ketika teman-temannya sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Tentu peristiwa ini telah menyayat hati siapapun yang membacanya. Bukan lantas menghakimi mental orang lain, sebaliknya, perlu sekali kita berefleksi dan sejenak merenung, tentang bagaimana kita menyiapkan diri kita, atau anak kita memiliki bangunan mental yang siap.
Sebagian dari kita saat ini barangkali bersyukur memiliki teman yang selalu bersama kita, setia dan selalu ada. Ada yang selalu mendukung kita dengan tulus. Namun kita juga harus siap jika ada yang menilai kita buruk semau mereka. Bahkan, yang paling sering, membicarakan kita di belakang, dan itu tidak apa apa. Tidak semua perayaan tentang kita harus dirayakan dengan senang oleh semua orang, bukan?
Bayangkan, jika sejak semula kita tidak siap dengan kegagalan dan kekecewaan. Betapa terjerembabnya kita atas beragam hal yang hidup ini suguhkan. Maka ketidaksiapan itu ternyata masih diwariskan ke kita. Masih kita rasakan, atau tepatnya kita merasa masih menjadi jiwa yang tidak siap itu, ayo berhenti di kita.
Jiwa yang Tidak Siap
Berhenti menjadi gelisah ketika seseorang tidak menyukai kita. Stop merasa marah dan gusar saat seseorang membicarakan kita di belakang. Berhenti merasa bahwa itu semua adalah salah kita dan wujud kegagalan kita sebagai seorang individu dalam lingkungan sosial.
Dalam dunia kerja misalnya, kita juga mungkin pernah dihadapkan pada kejadian pengajuan proposal kita yang gagal, kalah dalam perlombaan, ketidakpuasan atasan atas kinerja kita dan kejadian mengecewakan lainnya.
Berhentilah merasa bahwa kita adalah orang yang paling tersakiti. Sebaliknya, artinya ini adalah bagian dari penilaian dunia yang tidak selamanya seperti versi kita. Langkah pertama jangan denial, terimalah bahwa itu adalah bagian dari proses awal kita berbenah. Membenahi manajemen waktu kita, membenahi bacaan kita, membenahi cara kerja kita, dan lain sebagainya.
Ada hal penting lain juga, jika kita ingin trauma ketidaksiapan pada kegagalan ini berhenti di kita. Kita harus bangun kesadaran kepada anak-anak kita. Memutus rantai dan membuka lembaran baru di episode anak-anak kita.
Bahwa gagal itu tidak apa apa, tidak masalah. Semua bisa diambil pelajarannya lagi untuk berbenah dan keberhasilan akan menghampiri. Namun, kendati jika proses berhasil itu lama, ya tidak apa apa juga. Setiap orang punya masanya untuk mencapai suatu titik dengan jarak tempuh dan kecepatan yang tak sama. Poinnya adalah tidak menyerah dan terpuruk, merasa bahwa ini akhir dari semuanya.
Apresiasi Semua Capaian
Ayo hentikan di kita. Beri anak kita apresiasi atas capaiannya, dan jangan lupa untuk memberikan pengertian dan senyuman di setiap gagalnya. Validasi rasa sedihnya, kecewanya, amarahnya, tingkah benar dan salahnya, bahwa ini benar, sementara ini kurang tepat dan harus dibenahi.
Saat anak kita bermain lomba balapan dengan temannya misalkan, lalu dia kebetulan kalah. Dia lalu menangis dan menghambur ke pelukan kita. Dia marah dan mengadu bahwa dia tidak mau kalah.
Di situlah kita dapat memberi sounding untuk pemahaman, bahwa kalah dan menang itu biasa dalam lomba. Bahwa hari ini kalah, bisa jadi besok akan menang. Beri dia apresiasi, bahwa kekalahannya kali ini telah disertai perjuangan dan usaha, dan itu yang tidak kalah penting serta tidak bisa diabaikan.
Atau ketika momen anak kita bertengkar dengan teman sebayanya. Merasa bahwa teman-temannya menjauhinya. Hendaknya kita jangan denial hanya untuk tujuan menghibur. Kita jangan berkata bahwa itu tidak benar, lebih tepat jika itu tidak sepenuhnya benar. Mulailah proses validasi rasa sedihnya. Hibur dan biarkan dia tenang. Kemudian yakinkan, bahwa tidak apa apa jika temannya tidak ingin bermain dengannya untuk saat ini.
Lebih lanjut, pinta anak kita untuk memberikan waktu kepada temannya. Berikan pengertian, bahwa jika seseorang tidak mau, kita tidak bisa memaksa. Berikan anak waktu untuk menerima. Selanjutnya, kita baru bisa memberikan solusi, misalkan dengan memilih permainan lain, meminta maaf atas pertengkaran, atau mencoba bermain dengan teman yang mau bermain bersama.
Pekerjaan membangun pribadi yang siap ini tidak mudah, memang. Tetapi kita harus yakin. Bahwa ini bukan untuk kita tuai sekarang. Tetapi demi bangunan mental kita. Juga bangunan mental kelak saat anak anak kita sudah berdiri dengan kakinya sendiri.
Editor Amanat Solikah