Oleh, Taufiqur Rohman – Ketua Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi (MPID) PDM Banyuwangi
PWMU.CO – Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu hari besar Islam yang sering diperingati oleh umat Islam. Terdapat banyak hikmah penting yang dapat dipetik pelajarannya dari peringatan kelahiran nabi akhir zaman itu. Di antara hikmah penting itu adalah bagaimana umat Islam mampu meneladani kehidupan Nabi yang penuh dengan kesederhanaan. Apalagi saat ini kita sedang dihadapkan dengan merebaknya budaya flexing di tengah kehidupan masyarakat.
Flexing merupakan budaya memamerkan kemewahan yang dimiliki. Sebenarnya ajaran Islam tidaklah melarang seseorang untuk memiliki kekayaan. Justru etos atau semangat Islam itu adalah semangat kerja keras. Sebaliknya Islam melarang pemeluknya untuk meminta-minta. Namun semangat kerja keras hingga memperoleh hasil yang maksimal, bukanlah untuk dibanggakan, tetapi justru kekayaannya itu hendaknya digunakan untuk membantu orang yang kekurangan.
Seorang muslim adalah seorang yang sudah selesai dengan pandangan dunianya. Falsafah hidupnya sangat jelas bahwa dunia itu larut dalam dirinya. Dia pun menyadari pula, jika dirinya berkecukupan dan berkelapangan harta, dia akan mengingat pada sebagian hartanya tersebut terdapat hak fakir dan miskin. Tanpa diminta pun, seharusnya dia memberikan sebagian hartanya itu kepada yang berhak.
Tidaklah elok, jika seorang muslim berbudaya flexing. Hal itu sangat bertentangan dengan ajaran agamanya. Apalagi dia hidup di tengah-tengah warga masyarakat yang masih kesulitan secara ekonomi.
Sebagai warga bangsa Indonesia, kita merasa prihatin dan sangat miris melihat kasus jet pribadi yang melibatkan anak pejabat dan pejabat lainnya. Sebelumnya juga ada kasus yang pernah menimpa oknum anak pejabat perpajakan yang sangat flexing gaya hidupnya. Dua contoh kasus tersebut menunjukkan betapa budaya flexing semakin marak di negeri ini.
Peringatan Maulid Nabi merupakan momentum penting bagi umat untuk kembali meneladani pola hidup nabi sebagai uswah hasanah (teladan yang baik). Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran Surat al-Ahzab 21.
Artinya: “Sungguh pada diri Muhammad itu terdapat teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah, kedatangan hari akhir, dan yang banyak mengingat Allah.”
Nabi Muhammad itu seorang kepala negara, tapi dia tidak menggunakan kekuasaannya yang mengarah pada flexing. Tidak menggunakan kekayaannya untuk dipertontonkan. Hartanya digunakan untuk membantu orang yang berada dalam kesulitan dan untuk perjuangan dakwah Islam. Bahkan Nabi adalah orang yang sangat dermawan, meskipun terhadap orang yang membencinya.
Sebut saja satu kisah yang pernah dialami oleh Shofwan bin Umayyah saat terjadi perang Hunain. Dia pernah diberi 300 hewan ternak oleh Nabi, padahal awalnya dia termasuk orang yang paling membenci Nabi Muhammad. Namun Nabi terus berderma kepadanya, bahkan lebih dari itu, sampai Shofwan menyatakan keislamannya.
Dapatlah dibayangkan betapa damainya kondisi masyarakat atau bangsa, ketika warganya benar-benar mau meneladani kehidupan Nabi. Maka akan terjadi harmonisasi dalam masyarakat tersebut. Tidak ada lagi gap yang menganga antara si kaya dengan si miskin karena semuanya saling menyadari dan saling membutuhkan. Akan tetapi, jika warga tetap saja tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, maka disharmonilah yang akan terjadi di masyarakat itu.
Dalam buku yang berjudul ‘Sejarah Hidup Muhammad’ karya Muhammad Husain Haekal disebutkan bahwa harta dan segala keserakahan orang yang menumpuk harta itu menjadi penyebab timbulnya superioritas dan dekadensi moral yang selalu menimpa dunia.
Maka dari itu, sudah selayaknya umat ini meneladani life style Nabi Muhammad yang penuh dengan kesahajaan. Sejak kecil, Nabi sudah digembleng dengan kerasnya kehidupan ini. Dalam kondisi yatim di bawah asuhan pamannya yang bernama Abu Thalib, Muhammad belajar untuk berjuang menjalani hidup dengan bekerja keras.
Pada saat memasuki usia dewasa, etos kerjanya semakin tumbuh. Dia menjadi seorang usahawan bersama Khadijah. Akhlaknya sebagai Al-Amin (orang yang dapat dipercaya) memancar dari pribadinya. Sampai pada akhirnya Nabi menjadi seorang kepala negara sekali pun, tidaklah pernah dia mengumbar kekayaannya. Apalagi mempertontonkannya di depan publik.
Melalui salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk bersedekah. Jika seorang muslim tidak mempunyai harta untuk disedekahkan, maka dia harus bekerja untuk mencukupi dirinya dan bersedekah.
Harapannya dengan meneladani pola hidup Nabi, tidak ada lagi kasus-kasus flexing yang berulang. Semoga kita bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang berkeadaban dengan tidak mengumbar dan mempertontonkan kekayaan di depan publik dengan arogan, tetapi sebaliknya, mampu menggunakan kekayaan itu untuk berbagi kepada sesama. (*)
Editor Ni’matul Faizah