Oleh Pradana Boy ZTF Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
PWMU.CO – Tak seorang Muslim pun yang akan menyangkal bahwa al-Quran harus hadir dalam kehidupan umat Islam. Sebagai pijakan dasar bagi seluruh dimensi pikir dan laku umat Islam, al-Quran memberikan petunjuk, garis, rambu, dan isyarat untuk mencapai keselamatan dalam dua kehidupan: kini dan akan datang.
Ada kalanya lugas, apa adanya, dan langsung. Namun dalam banyak kesempatan, al-Quran mengirim isyarat tersirat, sehingga memerlukan pemikiran dan perenungan. Bentuknya pun beragam. Kadang berupa kisah, sindiran, pertanyaan, atau bahkan teka-teki. Maka, menghadirkan al-Quran dalam kehidupan adalah sebuah misi yang tak mudah, tetapi bukan berarti tak mungkin, bukan sebuah mission impossible.
Barangkali ketidakmudahan misi itulah yang mengkristalkan tekad dan seruan “al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah,” atau “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” di kalangan ulama’, terutama para pembaharu Muslim sejak masa Ibn Taymiyyah. Di Indonesia, seruan itu menggema melalui Kiai Ahmad Dahlan di awal abad ke-20. Tentu saja, Muhammadiyah bukanlah yang pertama mengampanyekan seruan ini.
Sebagai gerakan intelektual “Kembali kepada al-Quran dan Sunnah,” bermaksud menjadikan al-Quran sebagai sumber dari segala sumber: hukum, etika, ilmu pengetahuan, atau tatanan masyarakat. Dalam istilah metodologisnya, al-Quran adalah paradigma. Namun, tak jarang slogan ini juga dimaknai secara berbeda. Misalnya, ada candaan intelektual (atau mungkin sinisme) yang menyebut seperti ini: “Kok kembali ke al-Quran dan Sunnah, apakah itu berarti kita pernah pergi dari keduanya sehingga kini harus kembali?”
Meskipun ini candaan, jawaban atasnya bisa serius dan bersifat intelektual. Tegasnya, secara semantik, kata “kembali” itu memiliki makna bahwa sebuah subjek pernah berada di suatu tempat, posisi atau keadaan, kemudian meninggalkannya. Setelah meninggalkan itu lalu ingin berada pada tempat, posisi, atau keadaan yang awal tadi.
Itulah “kembali.” Jika definisi semantik ini disetujui, maka memang benar, “Kembali ke al-Quran dan Sunnah” itu bisa dimaknai sebagai pernah berinteraksi dengan al-Quran dan Sunnah kemudian pergi atau meninggalkan keduanya. Bagaimana jika belum pernah berinteraksi dengan keduanya? Maka, itu bukan kembali, melainkan mendatangi.
Tentang kata kunci “kembali” ini, cendekiawan Muslim asal Mesir, Jamal al-Banna dalam al-Audah ila al-Quran (Kembali kepada al-Quran) membenarkannya. Namun, Jamal tidak menggunakan istilah al-ruju’ melainkan al-‘audah. Meskipun memiliki nuansa makna, al-ruju’ dan al-audah adalah muradif atau sinonim. Keduanya sama-sama berarti kembali.
Jamal menyadari bahwa Muslim mesti kembali ke al-Qur’an karena telah meninggalkannya. Rupanya, menghadirkan al-Quran dalam kehidupan secara tendensius adalah salah satu sebab yang menjauhkan umat Islam dari kitab sucinya. Lalu, bagaimana Muslim bisa menjauh dari al-Quran? Dalam pandangan Jamal al-Bana, itu bisa terjadi karena al-Quran seringkali dihadirkan sebagai legitimasi bagi pemikiran manusia dengan agendanya masing-masing. al-Quran hadir, tetapi tidak hadir.
Apa di Indonesia hal itu juga terjadi? Saya pastikan ya. Ayat-ayat politik adalah contohnya. Dulu pada masa Orde Baru, seringkali ditemukan kenyataan bahwa untuk meligitimasi sebuah partai yang berlambang pohon beringin, dikutiplah Surah Ibrahim ayat 24 yang bercerita tentang perumpamaan pohon dengan akar yang kokoh dan cabang-cabang yang menjulang ke langit. Ayat itu tentu tidak berbicara tentang pohon beringin, karena bisa saja maknanya bersifat metaforis.
Hal yang sama terjadi pada pemilihan presiden tahun 2024. Dadang Muliawan, seorang ulama dari Ciamis, pendukung calon presiden dan wakil presiden Anies Bawedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, dalam sebuah orasi politiknya mengajak massa untuk memenangkan pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang saat itu dikenal dengan akronim AMIN.
Dadang membawa legitimasi Qur’ani. Menurutnya, adalah dosa bagi umat Islam di Indonesia, jika pasangan calon “AMIN“ kalah, karena ia menilai bahwa secara eksplisit AMIN telah ditulis dalam al-Qur’an, di antaranya adalah dalam Surah al-A’raf ayat 68.
Karena perlakuan pada al-Quran yang seperti ini, kata Jamal al-Banna, al-Quran lalu menjadi cabang, padahal ia adalah akar (kana al-Quranu far’an ba’da an kana aslan); al-Quran tak lagi menjadi model yang harus diikuti, tetapi harus mengikuti kemauan manusia (wa tabi’an ba’da an kana matbu’an); al-Quran tak lagi menjadi standar, melainkan menjadi hal yang distandarkan (wa mawzunan bighairihi ba’da an kana mizanan).
Inilah di antara sebab mengapa umat Islam harus kembali kepada al-Quran dan menghadirkan al-Quran dalam kehidupan. Kembali tak hanya datang, tetapi mengembalikan fungsinya kembali sebagai ashlun (dasar), matbu’ (model), dan mizan (standar).
Sejalan dengan pandangan ini, Yusuf al-Qaradhawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a al-Quran al-Adhim menyebut bahwa sebagai kitab istimewa bagi umat Islam, bahkan umat manusia, al-Quran memiliki hak yang harus ditunaikan oleh umat Islam.
Hak-hak itu adalah hifdzun wa istidzharun (menghafal dan terus-menerus menjalankan hafalan itu), tilawah wa istima‘ (membaca dan mendengarkannya), tadabbur wa ta’amal (perenungan), dan fahmun wa tafsirun (pemahaman dan penafsiran).
Namun, tak semua hal di atas harus dihadirkan seketika. Menghadirkan al-Quran dalam kehidupan adalah al-ta’amul thula al-hayat (pergumulan seumur hidup). Persis seperti al-Quran yang diturunkan secara bertahap (tadrijiyyan), begitu pulalah kita harus menghadirkan al-Quran dalam kehidupan. Maka berada pada etape apakah proses pergumulan kita dengan al-Quran hari ini, semua bergantung sejak kapan kita memulainya.
Kita tidak akan pernah di etape manapun, jika kita tidak pernah memulainya. Lalu, tidakkah kita terlambat, karena baru saja menyadarinya? Percayalah dengan pepatah lama bahasa Inggris: late is better than never, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali. Titik mula terbaik adalah dari diri sendiri.(*)
Editor Syahroni Nur Wachid