Penulis M Ainul Yaqin Ahsan – PRM Kadungrembug, Sukodadi, Lamongan
PWMU.CO – Dunia digital telah membuka jalan baru untuk para pencari keadilan yang merasa selama ini mendapatkan perlakuan atau pelayanan yang jauh dari rasa adil. Frasa “No Viral, No Justice” merupakan tagline satire akibat dari rendahnya kinerja aparat penegak hukum di negeri ini. Ketika persoalan ketidak-adilan terbiarkan membeku dengan berbagai alasan, kemudian para pencari keadilan merasa tidak memiliki kuasa untuk mempertanyakan. Media sosial yang kemudian menjadi saluran untuk mempublikasikan. Tidak jarang kita menyaksikan bagaimana reaksi gerak cepat para aparat penegak hukum yang ‘gerak-cepat’ menjalankan kewajibannya, setelah viral di media sosial.
Di satu sisi mungkin kita bersyukur ada medsos yang mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan ketidak-adilan di negeri ini. Namun di sisi lain kita juga patut prihatin dengan sikap responsif para penegak hukum yang baru tergerak setelah diviralkan melalui medsos.
No Viral, No Justice
Kasus penganiayaan anak bos toko roti George Sugama Halim (SGH) yang melakukan penganiayaan terhadap karyawatinya Dwi Ayu Dharmawati di Cakung, Jakarta Timur. GSH tidak hanya melakukan kekerasan fisik, tapi juga psikologis dengan cara melecehkan korban dengan dengan mengatakan “orang miskin kayak kamu mana bisa masukkan saya ke penjara”.
Sebenarnya kasus majikan-karyawati ini sudah sampai di meja hukum (kepolisian.red). Tapi realitasnya, kasus ini dimandekkan oleh pihak kepolisian, padahal korban sudah menyampaikan laporan kasusnya sejak Oktober 2024 lalu.
Setelah 2 bulan berlalu tanpa ada progresif yang sesuai harapan, virallah kasus tersebut di medsos. Publik pun kompak, suara-suara pedas mereka yang berwujud komentar, unggahan hingga # (tagar) membanjiri ruang medsos. Aparat kepolisian pun tampak kegerahan, sehingga bergerak Kembali untuk melanjutkan proses penyelidikannya. Endingnya, aparat kepolisian menangkap GSH di sebuah hotel di Sukabumi.
Kasus Mario Dandy juga bisa belum hilang dari ingatan. Penganiayaan keji yang dilakukannya baru mencuat dan menjadi atensi tugas penegak hukum setelah viral di medsos. Bahkan dari kasus itu, melebar ke dugaan kasus korupsi yang dilakukan Rafael Alun (ayah Mario Dandy).
Belajar dari hal-hal seperti itu, memperkuat persepsi bahwa pengungkapan kasus kriminal yang melibatkan orang-orang ‘kuat’ membutuh gerakan “like” dan “share” untuk menarik perhatian publik. Medsos pun meningkat fungsinya. Selain sebagai alat komunikasi, juga sebagai ruang baru membangun kekuatan untuk membangunkan penanganan hukum yang tertidur.
Fenomena ini bukan sekadar kritik terhadap aparat, tetapi menyiratkan kegagalan mendasar pada sistem penegakan hukum di negeri ini. Dulu warga negara menggunakan jalur hukum formal untuk melaporkan kasus dan mendapatkan keadilan. Namun kini platform digital telah menjadi altar “pengadilan” yang sempurna — dengan menjadikan warganet sebagai penegak hukum yang sat set dalam bertindak daripada penegak hukum yang sebenarnya.
Pertanyaannya, mengapa laporan kasus kekerasan dan pelecehan dengan alat bukti yang jelas harus menunggu viral untuk mendapatkan perhatian?