PWMU.CO – Pengantar Redaksi. Pernyataan Puan Maharani saat membuka Rapat Kerja Nasional Aisyiyah dan Dialog Kebangsaan di Yogyakarta, Jumat pekan lalu (22/4), bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga besar Muhammadiyah, tidaklah salah. (Baca: Puan Maharani: Saya adalah Keluarga Besar Muhammadiyah).
Kakek Puan yaitu ayah dari ibunya Megawati, Ir. Soekarno, tercatat sebagai warga Muhammadiyah. Berikut ini, catatan tentang Muhammadiyah-nya Soekarno, diolah dari berbagai sumber. Selamat membaca!
***
PRESIDEN pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, dikenal sebagai sosok yang kental dengan Muhammadiyah. Bahkan beberapa untaian katanya cukup populer sebagai sebuah semboyan. Diantaranya: “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”, “Makin Lama Makin Cinta”, serta “Jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”
Soekarno sendiri masuk menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1938, dan pernah diumumkan secara terbuka saat Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah, tahun 1962. “Saya menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938 sekarang sudah 1962, jadi sudah 24 tahun.”
“Cuma anehnya, sejak saya menjadi Presiden Republik Indonesia, saya belum pernah ditagih kontribusi. Jadi saja minta agar supaya sejak sekarang ditagihlah kontribusi saya ini,” terangnya di hadapan peserta muktamar.
Cerita Bung Karno masuk resmi ke Muhammadiyah terjadi pada tahun 1938, ketika diasingkan oleh penjajah Belanda ke Bengkulu. Bung Karno menjejakkan kaki di Bengkulu pada 14 Februari 1938. Rumah Pengasingannya berada di Kelurahan Anggut, Kecamatan Ratu Samban, dan ditempati selama 4 tahun. Rumah pengasingan yang ditempati Bung Karno sekeluarga adalah milik pedagang keturunan Tionghoa, Tjang Tjeng Kwat.
Begitu mengetahui kalau Soekarno yang merupakan seorang pemimpin pergerakan nasional dibuang ke Bengkulu, tokoh Muhammadiyah setempat Hassan Din, langsung mencari kediaman Soekarno. Kedatangan Hassan Din yang juga tokoh pergerakan ini punya maksud mengajak Soekarno yang berpendidikan tinggi ini supaya mau mengajar di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu.
Singkat cerita, Hassan Din akhirnya dapat bertandang ke rumah Bung Karno di Bengkulu. “Ketua Muhammadiyah setempat, Pak Hasan Din, datang di suatu pagi tanpa memberi tahu lebih dulu, suatu hal yang biasa di kalangan kami. ‘Di sini,’ ia memulai, ‘Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru. Ketika di Ende, Bung memiliki hubungan yang akrab dengan salah satu organisasi Islam di Bandung, Persatuan Islam, dan kami dengar Bung sepaham dengan pandangan Ahmad Hassan, guru yang terpelajar itu. Apakah Bung bersedia membantu kami menjadi guru?’ Baca sambungan di hal 2 …