Dalam perluasaan masjid tersebut, merupakan wakaf dari pak Asmadi dan Pak Aryo, sehingga luas masjid keseluruhan menjadi 84 meter, dengan lebar sisi timur 8 meter, sisi barat 6 meter, dan panjang 12 meter sekarang.
Begitulah perjuangan Kiai Dahlan mendirikan masjid di Tosari, meski masjid itu kini bukan “dikuasai” (orang) Muhammadiyah lagi. Awalnya, saat berangkat tetirah ke Tosari, menurut laporan dua orang pengantar, KHA. Dahlan sudah tentram tenang hati mustarih (istirahat), karena sudah dapat pelayan yang jinak dan cakap untuk melayaninya dengan memuaskan.
(Baca: Mengenang alm. Ustadz Mu’ammal Hamidy dan Di Sel Tahanan, Buya Hamka Nyaris Putus Asa)
Namun, di lapangan sesudah dua pengantarnya pulang, Kiai Dahlan tidak benar-benar istirahat. Dalam catatan muridnya, KH M. Sjoedja’, mumpung masih ada kesempatan, Kiai Dahlan lantas menyingsingkan lengan bajunya bertabligh kepada penghuni daerah itu sambil membina surau sampai berdiri tegak untuk berjamaah lima waktu. “Walaupun sesungguhnya sakitnya tidak mengurang malah bertambah. Namun, di Tretes (Tosari, red) berdirilah dengan tegak sembahyang berjamaah lima waktu di surau yang baru itu,” cerita Sjoedja’.
(Baca: Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-kata dan Perjalanan Dakwah Off Road ke Lamongan)
Setelah sekitar 2 bulan, Kiai Dahlan pun dijemput oleh dua orang anggota HB Muhammadiyah ke Tretes. Setibanya dua orang penjemput, terlihat pribadinya KHA. Dahlan tampak tidak tambah sehat, malah tambah berat. Badan tambah kurus tetapi kakinya bertambah bengkak. Hanya cahaya roman wajahnya kelihatan gembira dan berseri-seri dan senyum karena hatinya merasa puas. “Bahwa usahanya selama tetirah, yaitu bertabligh dan menegakkan surau untuk menegakkan sembahyang berjamaah lima waktu,” tambah Sjoedja’.
Sebuah keteladanan yang tak terkira. (ibrahimafi & abqaraya)