PWMU.CO – Fakta menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah menjadi raksasa pendidikan di bumi nusantara. Pada awal tahun 2016 ini, telah berdiri ribuan lembaga pendidikan yang semuanya milik Muhammadiyah. Bukan milik orang Muhammadiyah. Dilansir muhammadiyah.or.id, setidaknya terdapat 5.758 sekolah mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi (milik) Muhammadiyah. Tepatnya 2.604 SD/MI, 1.772 (SMP/MTs), 1.143 (SMA/MA/SMK), 67 Pondok Pesantren, serta 172 perguruan tinggi.
Yang patut diketahui, ternyata upaya mendirikan dan mempertahankan sekolah yang pertama kali didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tidaklah berjalan mulus. Bahkan hingga masuk usia 11 tahun pun masih berjalan sangat lambat, penuh tantangan, dan juga pengorbanan.
Berikut adalah 3 cerita jatuh-bangun Kyai Dahlan dalam merawat pondasi pergerakan Muhammadiyah itu, yang dihimpun pwmu.co dari berbagai sumber.
Cerita pendirian sekolah oleh KH Ahmad Dahlan ini direkam secara elok oleh muridnya, KH M. Sjoedja’. Meski tanpa menyebut kapan peristiwa tersebut terjadi, tapi Sjoedja’ mampu menggambarkan bagaimana permulaan sekolah itu bermula. “…namun sekolah itu dilaksanakan juga, sekalipun dengan secara kecil yang tidak dapat menerima murid banyak. Yaitu di ruang kamar tamu yang selebar ± 2,5 x 6 meter,” tulisnya.
(Baca: Cerita Sekolah Muhammadiyah Mengangkat Martabat Penduduk Non-Muslim dan Anies Baswedan: Ahmad Dahlan Pelopor Pendidikan Modern Indonesia)
Karena ketiadaan catatan kalender peristiwa ini, maka para peneliti Muhammadiyah memang berbeda pendapat tentang peristiwa itu. Menurut Prof Abdul Munir Mulkhan, aktivis dan juga pimpinan Muhammadiyah yang dikenal punya segudang arsip Muhammadiyah tempo dulu, peristiwa itu terjadi pada tahun 1908 hingga 1909-an. Sementara disertasi almarhum DR Alfian, yang juga diamini ,DR Haedar Nashir, peristiwa itu terjadi pada 1 Desember 1911.
Berbeda dengan Sjoedja’ yang menyebut murid sekolah pertama ini hanya berjumlah 9 peserta didik, maka Alfian menyebutkan angka 29. Angka ini, tulis Alfian, berdasarkan pada dokumen dari Departement van Kolonien, Ministerie van Binnenlandse Zaken, berupa “Mailrapport 1782/14”.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Selalu Lahirkan Kader Muhammadiyah)
“Murid-murid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Kalau sudah tambah tiga orang murid, baru ditambah satu meja dan satu bangku sekolah lagi,” tulis Sjoedja’. “Sedikit demi sedikit berjalan terus, menginjak bulan yang keenam murid sudah mendekati bilangan 20 orang anak,” tambahnya.
“…. Dengan 29 orang pemuda sebagai murid-murid pertamanya, dan menjelang pertengahan tahun 1912 sekolah tersebut memperbesar jumlah muridnya hingga 62 orang,” jelas Alfian dalam “Politik Kaum Modernis”. Lebih lanjut, tulis Alfian, pada 12 Juni 1912, Direktur Urusan Pendidikan Agama mengeluarkan besluit (surat keputusan) yang memberikan wewenang untuk menyediakan subsidi kepada sebuah sekolah Muslim yang memberikan pelajaran-pelajaran sekular dalam kurikulumnya.
Jika melihat kronologi dari tiga catatan itu, tampaknya cikal-bakal sekolah Muhammadiyah memang telah berdiri sebelum 1911. Cerita yang ditulis oleh Sjoedja’ tentang sekolah di ruang tamu rumah Kyai Dahlan tampaknya bukan sekolah “resmi” yang diajukan kepada pemerintah Belanda untuk mendapatkan subsidi.
(Baca: Grombolan Moehammadijah, Pondasi Awal Muhammadiyah dan Jangan Jadi Generasi Cengeng, Pesan Ketum PP untuk Pelajar Muhammadiyah)
Bisa jadi sekolah yang diceritakan Sjoedja’ merupakan laboratorium utama sebelum benar-benar mendirikan sekolah konvensional yang berkembang hingga sekarang. Letak sekolah itu pertama kali berdiri di depan rumah Kyai Dahlan, atau samping mushalla, sebelum pada 1921 berpindah lagi ke agak timur lagi di tempat sekarang berdiri “Sekolah Pawiyatan Wanita SD Muhammadiyah Kauman”. Dalam perjalanannya, setidaknya tercatat tiga cerita “heroik-mengharukan” tentang perjuangan Kyai Dahlan dalam mempertahankan sekolah ini.
Catatan pertama diceritakan oleh Solichin Salam, dalam buku KH Ahmad Dahlan: Tjita-tjita dan Perdjoangannja. Dalam buku yang diterbitkan oleh Depot Pengadjaran Muhammadijah (1962) ini, Solichin menulis bagaimana cara membangun sekolah, bahkan dengan cara berhutang pada sahabatnya yang kaya. Meski tidak disebutkan, cerita ini tampaknya terjadi ketika Kyai Dahlan mulai memindahkan “ruang kelas” dari ruang tamu ke bangunan sekolah sungguhan di samping mushallanya.
(Baca: Jangan Ajarkan ke-Muhammadiyahan Hanya Soal Tanggal Lahirnya dan Inilah 33 Prestasi Internasional Pelajar Muhammadiyah Jawa Timur)
“Di dalam usahanya untuk mendirikan sekolah, maka dipanggillah orang-orang hartawan di Jogja yang bersirnpati terhadap usaha dan cita-citanya. Kepada mereka, Kyai Dahlan meminjam uang,” tulis Solichin. Semula, tambah Solichin, para hartawan ini mengira bahwa uang yang dipinjam itu untuk kepentingan Kyai pribadi. Tetapi rupanya uang itu dipergunakan untuk mendirikan gedung sekolah, yang terdiri mula-mula dari 3 ruangan.
Setelah selesai, Kyai Dahlan baru memberitahu orang-orang yang meminjami uang itu, bahwa uang itu dipergunakan untuk mendirikan gedung. Sementara Kyai sendiri mendermakan tanah miliknya, agar mereka tidak terburu-buru meminta kembali uangnya. “Akhirnya banyak mereka yang mendermakan uang yang dipinjamkannya, bahkan ada pula yang menambahnya,” tambah Solichin.
Selanjutnya “menghadapi para penentangnya”, halaman 2..