Cerita kedua adalah munculnya berbagai fitnah kepada Kyai Dahlan dalam memperlakukan sekolah yang didirikannya. Inovasinya dalam metode mengajar dan kurikulum, membuat para Kyai yang sempit pikiran mendakwa Kyai Dahlan sebagai orang yang telah menyeleweng dari Islam. “Mereka menuduh KHA. Dahlan sudah murtad, sudah Kristen, dan lain sebagainya,” demikian kesaksian Sjoedja’.
Menanggapai berbagai tuduhan itu, tambah Sjoedja’, Kyai Dahlan menyatakan tidak perlu dilayani dengan bantahan dan sebagainya. Namun cukuplah dibiarkan dan dilayani dengan tenang dan sabar, tentu mereka dengan sendirinya akan mengerti dan insyaf di hari mendatang.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Selalu Lahirkan Kader Muhammadiyah)
“Dahlan membiarkan mereka berteriak ke langit dengan kritik, tuduhan-tuduhan dan fitnah-fitnah mereka terhadap dirinya dan gerakan Muhammadiyah, tetapi dia selalu melaksanakan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan keyakinannya,” begitu tulis Alfian. Strategi “banyak kerja, sedikit bicara” ini di kemudian hari sangat mempengaruhi perjalanan sukses Muhammadiyah dalam membangun raksasa lembaga pendidikan yang menyebar di seluruh penjuru nusantara.
Cerita ketiga terjadi pada tahun 1922, ketika sekolah Muhammadiyah itu belum bisa membayar para gurunya, dengan tunggakan 300 sampai 400 gulden. Tiba-tiba, Kyai Dahlan mengundang kawan Pengurus Muhammadiyah untuk mendaftar barang alat rumah tangganya KH A. Dahlan dari barang yang kecil-kecil barang rumah tangga, meja kursi, bangku, kaca tembok, jam tembok, kapstok, dan lain-lain.
(Baca: Grombolan Moehammadijah, Pondasi Awal Muhammadiyah dan Jangan Jadi Generasi Cengeng, Pesan Ketum PP untuk Pelajar Muhammadiyah)
Juga barang-barang pakaian mulai dari terumpah Karsanah, kain sarung palekat, baju-baju dalam dan jas-jas pakaian haris Qamish, jubah dan surban-surban. “Kecuali satu surban, satu jas, dua baju dalam dan dua sarung lama,” tulis Sjoedja’ tentang barang yang tidak didaftar itu.
Ternyata “inventarisasi” barang ini adalah upaya Kyai Dahlan untuk melelang semua barang itu. Berapa pun yang didapat dari penjualan lelang barang itu, Kyai Dahlan hanya akan mengambil 60 gulden.
Tetapi setelah selesai penjualan ternyata dapat berjumlah sampai 4000 gulden lebih sedikit. Namun, Kyai Dahlan tetap hanya mengambil 60 gulden saja, sedang yang lain tetap menjadi milik Muhammadiyah untuk menutup hutangnya kepada para guru yang sama menderita.
(Baca: Cerita Sekolah Muhammadiyah Mengangkat Martabat Penduduk Non-Muslim dan Anies Baswedan: Ahmad Dahlan Pelopor Pendidikan Modern Indonesia)
Para pembeli sendiri ternyata juga tidak tega melihat pengorbanan Kyai Dahlan ini. Tak heran jika selang berapa jam atau menit, pakaian-pakaian beliau yang dipandang perlu untuk melayani masyarakat dan agama yang sudah dibeli oleh orang, maka dengan lekas dikirim kembali kepada Kyai Dahlan oleh Allah dengan perantaraan si pembeli, untuk hendaknya dipakai kembali dengan lega dan ridha. “Sehingga keadaan KHA. Dahlan tidak ada perubahan sedikitpun dari keadaan yang telah lalu,” tulis Sjoedja’.
Versi Sjoedja’ ini memang berbeda dengan apa yang pernah ditulis oleh Syukriyanto AR, putra Ketua (Umum) PP Muhammadiyah 1968-1990, KH AR Fakhruddin. Sjoedja’ menulis bahwa “barang lelang” dibeli dan dibawa pulang oleh pembeli, kemudian baru dikembalikan kepada Kyai Dahlan dengan perantara orang lain. Sementara Syukriyanto menulis, para pembeli ini sama sekali tidak membawa pulang “barang lelang” yang dibelinya. Tapi tetap dibiarkan di rumah Kyai Dahlan.
(Baca: Jangan Ajarkan ke-Muhammadiyahan Hanya Soal Tanggal Lahirnya dan Inilah 33 Prestasi Internasional Pelajar Muhammadiyah Jawa Timur)
Terlepas dari dua versi kronologi yang berbeda itu, satu yang jelas, peristiwa lelang itu sangat mempengaruhi jiwa-semangat kedermawanan kepada keluarga Muhammadiyah dan kaum muslimin umumnya. “Pada tahun-tahun paruh akhir 1922 banyaklah para dermawan yang mendermakan tanah dan hasilnya kepada Muhammadiyah,” tulis Sjoedja’.
Selanjutnya ada yang mewakafkan tanah dan gedungnya untuk dijadikan kantor PP Muhammadiyah, tanah untuk mushalla ‘Aisyiah, tanah untuk bangunan Rumah Miskin, tanah untuk Gedung Pengajian, dan lain sebagainya. Ada pula yang mendermakan mobilnya untuk kepentingan PP Muhammadiyah. Sementara untuk para Muballigh dan Muballighat Muhammadiyah yang punya jadwal mengisi tabligh di luar Kauman, beberapa dermawan juga menyediakan sepedanya. (lazuardy arkoun abqaraya)