PWMU.CO – Tuhan: Ia, Dia, atau Beliau? Seorang kawan melayangkan protes ketika saya menyebut seorang tokoh dengan kata ganti ketiga: ‘dia’. Menurut kawan tersebut, seharusnya saya menggunakan kata ganti ‘beliau’ untuk menghormati yang bersangkutan.
Memang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) Edisi V Daring, kata ‘beliau’ adalah pronomina (kata ganti) orang yang dibicarakan (digunakan untuk menghormatinya).
Maksudnya, kata ‘beliau’ digunakan sebagai pengganti pronomina ‘dia’ dengan tujuan menghormati seseorang yang kita bicarakan.
Sedangkan ‘dia’ dalam KBBI V Daring dijelaskan sebagai pronomina persona tunggal yang dibicarakan, di luar pembicara dan kawan bicara; ia.
Dalam kamus Harian DI’s Way, Dahlan Iskan membedakan penggunaan ‘dia’ dan ‘ia’. ‘Dia’ sebagai kata ganti perempuan dan ‘ia’ untuk laki-laki. Penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda ini sebenarnya berlaku dalam bahasa Arab: Huwa (هُوَ dia laki-laki) dan hiya (هِيَ dia perempuan). Atau dalam bahasa Inggris: he (dia laki-laki) dan she (dia perempuan). Mungkin seperti itu alasan Dahlan Iskan.
Sementara dalam KBBI V Daring, ‘ia’ semakna dengan ‘dia’. Hanya ketika menjelaskan pronomina ‘ia’, kamus rujukan tersebut menambahkan alternatif penggunaan ‘ia’ untuk benda yang dibicarakan. Contohnya: Buku adalah teman setia, ia tidak pernah mengkhianati pemiliknya.
Dahlan Iskan tidak hanya membedakan pemakaian ‘ia’ dan ‘dia’, tetapi juga membedakan penggunaan ‘nya’ sebagai pengganti ‘ia’ (laki-laki) dan ‘nyi’ sebagai pengganti ‘dia’ (perempuan). Rupanya Dahlan Iskan punya eksperimen bahasa sendiri yang dia sebut sebagai kamus DI’s Way.
Dalam unggahan berjudul “Oktober You”, 25 Oktober 2019, Dahlan Iskan menjelaskan, “Kalau saya menulis ‘katanya’ berarti yang mengatakan adalah laki-laki. Sebaliknya, kalau saya menulis ‘katanyi’, berarti yang mengatakan adalah perempuan.”
Hal tersebut berimplikasi pada kasus sejenis, misalnya ‘miliknya’ untuk menyebutkan barang terkait adalah milik seorang laki-laki dan ‘miliknyi’ untuk menyebut milik perempuan.
Tuhan: Dia, Ia, atau Beliau?
Kembali pada persoalan kata ‘beliau’. Jika mengacu pada alasan kawan saya tadi bahwa penggunaan kata ‘beliau’ untuk lebih menghormati (dari pada ‘dia’ atau ‘ia’), pertanyaannya: mengapa kepada Tuhan kita pakai kata ganti ‘Dia’, bukan ‘Beliau’?
Bukankah Tuhan harus lebih dihormati? Tetapi mengapa dalam terjemahan Kitab Suci, juga dalam percakapan sehari-hari, kita memakai ‘Dia’?
Apakah kalau kita menyebut Tuhan sebagai ‘Dia’, berkurang penghormatan kita? Sebaliknya, jika kita pakai ‘beliau’ sudah siapkah mental kita? Rasanya aneh ya kita dengar, “Katakanlah, Beliaulah Allah yang Maha Esa” untuk mengganti terjemahan Surat al-Ikhlas: 1, “Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
Seperti keanehan rasa yang saya alamai ketika untuk kali pertama dalam hidup ini (karena kurang baca kali ya?), Tuhan disebut ‘Beliau’ oleh Putu Wijaya dalam tulisannya di Kompas. Ganjil rasanya.
Yang juga perlu ditanyakan pada Dahlan Iskan, seperti pernah ditanyakan oleh Aris Setiawan dalam kolom Bahasa di Tempo, 21 Desember 2019.
Kata ‘nya’ dan ‘dia’ selama ini juga digunakan sebagai kata pengganti untuk Tuhan atau Allah. Jamak dijumpai: “… kepada-Nya kita berserah.”, “… sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (al-Mulk: 19), juga “Dia tidak beranak dan diperanakkan.” (al-Ikhlas: 1-4).
Apakah dengan demikian Tuhan memiliki jenis kelamin? Sebab, ‘nya’ merujuk pada laki-laki. Lalu apakah Tuhan laki-laki?
Tuhan: Dia dan Engkau
Dari cita rasa bahasa, menurut saya, menyebut Allah dengan kata ganti ‘Engkau’ atau ‘Dia’ itu lebih memiliki kedekatan spiritual.
Apalagi Tuhan sudah menunjukkan bahwa diri-Nya dekat dengan hamba-Nya. Seperti dalam firman-Nya Surat al-Baqarah 186:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Bahkan dalam Surat Qaf 16, Tuhan mengatakan dirinya lebih dekat dari urat leher manusia. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Nah kedekatan itu jangan kita buat berjarak dengan penggunaan hierarki bahasa untuk memenuhi unsur kehormatan, lazimnya dalam bahasa Jawa. Mandi misalnya setidaknya memiliki dua tingkatan: adus (ngoko) dan siram (kromo inggil). Belum lagi ‘makan’. Ada dahar, nedo, mangan, dan mbadok.
Kesederajatan itulah sebenarnya spirit yang dibawa oleh bahasa jurnalistik. Maka jangan takut ketika Anda menulis ‘dia’ untuk menyebut ‘kiai’ atau ‘profesor’ dalam tulisan.
Toh, Tuhan saja sudah kita sampung dengan ‘Dia’ dan ‘Engkau’, seperti doa saya ini: “Ya Allah jika Engkau ridha pada tulisan ini, maka berkahilah!”
Sebenarnya menarik untuk mengaitkan tulisan ini dengan hikmah Nabi Muhammad menemukan ke-Engkau-an Tuhan, setelah sebelumnya Nabi Musa menemukan ke-Dia-an Tuhan dan Nabi Isa menemukan ke-Aku-an Tuhan: seperti diajarkan guru sufi Muhammad Zuhri dalam ‘kitab’ Secawan Cinta, Pesan-Pesan Kearifan dari Lereng Muria.
Sayangnya, khawatir terlalu panjang! (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini mendapat tanggapan dari Bekti Sawiji berjudul Kepada Tuhan: Aku, Saya, atau Kami?