PWMU.CO – KH Faqih Usman, Arsitek Jembatan Masyumi-Muhammadiyah. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syafiq A Mughni MA PhD mengulas KH Faqih Usman. Jumat (29/10/2021) malam, dia menjelaskan pada Webinar #2 Tokoh Kita yang digelar Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Meski rumahnya dengan Faqih Usman tergolong dekat (Lamongan dan Gresik), tapi Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu mengaku baru mendengar nama KH Faqih Usman saat tokoh Muhammadiyah tersebut terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968). Saat itu, Syafiq kecil mulai mengikuti berita Muhammadiyah.
Pendidikan Paham Tradisional
KH Faqih Usman belajar di pondok pesantren (ponpes) Kiai Cholil (murid Kiai Cholil di Bangkalan) selama empat tahun (1914-1918). “Kiai Cholil ulama yang sangat terkenal di Gresik, bahkan nama beliau diabadikan sebagai nama jalan,” terang Prof Syafiq.
Lulusan University of California Los Angeles (UCLA) itu menerangkan, ponpes Kiai Cholil berlokasi di Kampung Blandongan Gresik. Ponpes itu lembaga pendidikan tradisional yang tidak jelas afiliasinya—entah Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU). Yang Syafiq tahu, saat kemudian NU berdiri, Kiai Cholil bergabung ke NU.
Selanjutnya, selama enam tahun (1918-1924), Faqih Usman belajar di Ponpes Maskumambang Gresik yang diasuh Kiai Faqih—ulama besar di Dukun, Gresik—yang pernah belajar di Mekkah. Melihat riwayat pendidikannya, Syafiq menyimpulkan, KH Faqih Usman tumbuh di lingkungan berpaham tradisional.
Meski latar pendidikannya berpaham tradisional, KH Faqih Usman akhirnya berkiprah di Muhammadiyah. Prof Syafiq menduga, kemungkinan berkat bacaan yang mempengaruhi jalan pikirannya. “Membaca majalah dari tulisan pembaharu-pembaharu di Timur Tengah, termasuk Muhammad Abduh,” imbuhnya.
Perkembangan Ponpes Maskumambang
Syafiq pun menerangkan profil Ponpes Maskumambang. Pengasuhnya kala itu termasuk kiai tradisional. “Begitu tidak suka terhadap Wahabi, sehingga melahirkan karya dalam bahasa Arab yang menolak Wahabi,” ungkap Syafiq.
Dalam konteks sekarang, Maskumambang lebih berkiblat pada Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) karena kiainya menjadi tokohnya, lebih berjiwa Masyumi. “Murid-muridnya lebih banyak berpkiprah di Persyarikatan Muhammadiyah,” jelasnya.
Bagaimana berubah menjadi ponpes yang sekarang? Dalam karya-karyanya, kata Syafiq, jelas sekali paham dan mekanisme Kiai Ammar dalam membawa Ponpes Maskumambang lebih puritan.
“Ada peran Kiai Ammar Faqih—putra Kiai Faqih—yang juga pernah belajar di Makkah, sangat terpengaruh pemikiran tauhid Muhammad bin Abdul Wahab,” jelas Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tahun 2006-2010.
Dampak Jadi Menteri Agama
Prof Syafiq menegaskan, KH Faqih Usman menjabat menteri agama (menag) pada Kabinet Wilopo (1952-1953). Dalam buku sejarah yang dia baca, terjadi peristiwa besar saat KH Faqih Usman terpilih menjadi Menag pada rapat Partai Masyumi.
“Punya dampak cukup kuat dalam perkembangan politik masa selanjutnya, ialah NU keluar dari Masyumi,” ungkap Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo tahun 2001-2006.
Ini terjadi pada tahun 1952. Penyebabnya, NU merasa jabatan menteri agama adalah hak NU. “Ketika orang Muhammadiyah dipilih jadi menteri agama, maka mereka (NU) menganggap suara NU tidak dihargai,” terangnya.
Saat itu, ada polemik antara mereka yang tetap berada di Masyumi dan keluar dari Masyumi, membentuk partai Nahdlatul Ulama sendiri. Misal ada argumen, “Para ulama yang duduk di Dewan Syura, mayoritas dari NU. Sedangkan dalam kalangan modernis ada di badan eksekutifnya.”
Karena keputusan partai yang sangat strategis lebih banyak didominasi badan eksekutif, maka mereka menganggap suara ulama tidak dihargai. Akhirnya, merasa Masyumi tidak menghargai ilmu agama dalam orang yang punya otoritas.
Selain itu, NU keluar dari Masyumi karena Masyumi bukan partai yang bermadzhab. Alasan ini menjadi polemik, sebab Masyumi memang tidak bermazhab sejak kelahirannya.
“Ini menjadi titik sangat krusial bagi hubungan antara kelompok-kelompok Islam ini,” ucap Syafiq A Mughni.
KH Faqih Usman lantas berperan penting melahirkan dokumen ideologi Muhammadiyah. Itu bukan ideologi sempit karena di dalamnya juga membahas masalah sosial-politik yang aktual saat itu.
Muhammadiyah Jadi Jembatan
Prof Syafiq menerangkan, ketika Masyumi membubarkan diri pada 1960, banyak tokoh Masyumi yang mencurahkan tenaganya kepada Persyarikatan Muhammadiyah. Di Paciran, kecamatan di mana Masyumi sangat kuat, ketika Masyumi bubar, tokoh-tokohnya masuk Muhammadiyah.
Menurutnya tidak mudah untuk bermigrasi dari partai politik ke organisasi masyarakat. “Tidak mudah melakukan penyesuaian keterlibatannya di partai politik ke organisasi sosial non-politik seperti Muhammadiyah!” tuturnya.
Maka, kata Syafiq, Kepribadian Muhammadiyah lahir untuk menjembatani dan mengarahkan jalan suasana kepartaian menjadi keormasan.
Kepribadian Muhammadiyah
Berikut empat pernyataan Kepribadian Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar. “Artinya, tetap kritis meski bukan partai politik,” terang Syafiq.
Muhammadiyah ditujukan kepada perseorangan dan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah atau masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kedua, Muhammadiyah gerakan tajdid. “Itu membutuhkan energi cukup besar, sehingga orang bisa segera lupa dengan suasana partai itu. Berpikir tentang pembaharuan-pembaharuan,” jelas Dosen Sejarah Peradaban Islam di UIN Surabaya sejak 1980 itu.
Ketiga, untuk mencapai tujuan, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip atau koridor Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Dia menegaskan dampaknya, “Tidak akan mudah ditarik ke kiri atau ke kanan yang menyimpang dari garis dasar persyarikatan.”
Sifat-Sifat Muhammadiyah
Keempat, Muhammadiyah punya sifat-sifat dari nilai dasar. Yaitu beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan, memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah, serta lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
Selain itu, bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar negara yang sah. Juga amar makruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik.
Termasuk juga aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai ajaran Islam, kerja sama dengan golongan agama Islam mana pun dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam.
Terakhir, membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain, sebagai pemelihara dan membangun negara, dan bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni