Bang Imad: Aktivis dan Penulis ‘Kuliah Tauhid’ yang Legendaris Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, nama lengkap sang pendidik dan pendakwah itu. Bang ‘Imad sapaan akrabnya. Prestasi akademik dan dakwahnya cemerlang. Buku Kuliah Tauhid karyanya, terbilang legendaris karena dicetak ulang berkali-kali dan terutama diminati aktivis di Indonesia dan Malaysia.
Di kalangan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bang ‘Imad dijuluki sesepuh Departemen Teknik Elektro. Dia juga dikenang sebagai salah seorang pendiri Masjid Salman ITB.
Masjid Salman ITB salah satu masjid yang masyhur, terutama di kalangan aktivis. Di masjid itu, Bang ‘Imad merupakan tokoh penting. Dia banyak mewarnai kegiatan terutama di aspek kaderisasi termasuk lewat Latihan Mujahid Dakwah (LMD).
Di masjid itu, para kader mendapatkan penanaman nilai-nilai tauhid, dakwah, kepemimpinan, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu terasa benar manfaatnya bahkan setelah mereka meninggalkan kampus dan berkiprah di masyarakat. Terutama pada masanya, Bang ‘Imad menjadi tokoh panutan bagi banyak kaum muda Muslim.
Tertib dan Berprestasi
Bang ‘Imad lahir pada 21 April 1931 di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Lelaki itu keturunan ulama-aktivis.
Ayah Bang ‘Imad, Haji ‘Abdulrahim Abdullah, adalah alumnus Universitas Al-Azhar (Mesir). Beliau aktif di dunia politik sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Sukunya, Minangkabau. Sementara, sang ibu-Syaifatul Akmal-adalah keturunan bangsawan Kesultanan Langkat. Adapun kakek dari Bang ‘Imad (dari garis ayah) adalah pengurus masjid kesultanan tersebut sejak 1870-an.
Bang ‘Imad, awal sekali, mendapatkan dasar-dasar agama Islam dari sang ayah. Sering, sang ayah menuturkan kisah-kisah heroik perjuangan Rasulullah Saw dan para Sahabat.
Bang ‘Imad dan para saudaranya dididik secara disiplin. Misal, tidak boleh ada waktu yang disia-siakan. Shalat, wajib di awal waktu. Harus rutin mengaji. Lalu, untuk yang formal, pendidikan dasar dilalui Bang ‘Imad di Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Masa kecil Bang ‘Imad kental dengan suasana perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah. Seiring perjalanan waktu, terkait atmosfir politik kala itu, sang ayah sempat memboyong keluarganya ke Aceh.
Di alam merdeka, 1946, Bang ‘Imad bergabung dengan Barisan Hizbullah. Di usia 15 tahun itu, dia sudah mampu melakukan taktik gerilya. Untuk ini, dia mendapat pangkat sersan.
Pidato Bung
Semula, Bang ‘Imad bercita-cita menjadi dokter. Tapi, belakangan, dia ganti: Ingin studi yang dapat mengantarkannya menjadi insinyur listrik.
Waktu itu, Bang ‘Imad sudah di kelas tiga SMA. Tak lama lagi, akan menjadi mahasiswa dengan keharusan memilih jurusan yang diminati.
Dalam situasi itu, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta hadir diMedan untuk meresmikan PLTA Asahan. Bang ‘Imad hadir di acara itu dan turut menyimak pidato Bung Hatta.
Bung Hatta berpidato tentang manfaat Bendungan Asahan. Bahwa, pusat pembangkit energi ini mampu menghasilkan listrik untuk menerangi seluruh Pulau Sumatera. Ditegaskan Hatta, kemajuan bangsa mustahil terwujud bila tidak ada pembangkit energi listrik. Terlebih, kebutuhan akan listrik semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Isi pidato Hatta, sangat mengesankan Bang ‘Imad. Dia lalu mengubah pilihan: Tak lagi ingin kuliah di kedokteran, tapi di bidang listrik.
Bagi Bang ‘Imad, jurusan listrik tepat. Semangatnya bertambah tinggi, sebab dia merasa unggul di bidang matematika dan ilmu-ilmu eksakta. Cabang-cabang keilmuan itu, sebagai syarat utama diterima di jurusan listrik, memang dikuasainya dengan baik. Di luar itu, Bang ‘Imad juga cakap di pelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada bagian debat.
Baca sambungan di halaman 2: Aktivis Kritis