Setiap yang Memabukkan Termasuk Khamr, Bagaimana dengan Musik? Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ. رواه مسلم
Dari Ibnu Umar dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa meminum khamar di dunia, kemudian ia mati, sedangkan ia biasa meminumnya, niscaya tidak akan diterima tobatnya dan tidak akan meminumnya di akhirat.” (HR Muslim)
Hukum Haram
Setiap yang diharamkan oleh Allah pastilah sesuatu yang berdampak negitif atau membawa mudharat bagi pelakunya dan atau bagi orang lain, dan sebaliknya setiap yang diwajibkan oleh Allah adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pelakunya dan atau bagi orang lain. Itulah kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Sungguh kasih sayang Allah kepada hamba-Nya seluas setiap segala sesuatu, tidak bertepi.
Adanya perintah dan larangan adalah bagian dari kasih sayang itu. Semua perintah dan larangan-Nya adalah wujud Rahman dan Rahim-Nya itu. Maka tidak ada alasan bagi setiap mukmin untuk tidak merasa bahagia sebagai hamba-Nya, maka sudah seharusnya setiap hamba menghamba dengan sebaik-baiknya bauk secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sebagaimana dalam hadits di atas, setiap yang memabukkan termasuk khamr dan setiap khamr adalah haram. Khamr diharamkan karena ia menjadi sumber keburukan lainnya, karena dalam keadaan mabuk akal seseorang menjadi berkurang bahkan hilang kesadarannya.
Allah memberikan ilustrasi terhadap khamr dan juga perjudian sebagai firman-Nya:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir. (al-Baqarah: 219)
Ayat di atas menjelaskan tentang bahayanya khamr dan Judi, keduanya ada manfaatnya akan tetapi dampak negatif keduanya jauh lebih besar. Inilah landasan hukum yang kemudian menjadi landasan berpikir untuk dijatuhkan hukum padanya yaitu haram.
Walaupun dalam penentuan hukum khamr ini memiliki tahapan yang sampai pada jatuhnya hukum haram. Dalam hal ini sekaligus mengajarkan bahwa dalam menjatuhkan hukum itu kemudian tidak serta merta, akan tetapi melihat keadaan dan kondisi masyarakatnya.
Sehingga pertimbangan dalam hukum itu adalah asas manfaat dan mudharat-nya. Jika mengandung mudharat yang lebih besar maka hukumnya adalah haram dan jika memiliki manfaat yakni berdampak positif bagi kehidupan masyarakat maka hal itu menjadi sah-sah saja. Dalam hal ini terkait muamalah atau hubungan di tengah kehidupan masyarakat.
Tinjauan Hukum tentang Musik
Sebagaimana dalam perspektif berpikir di atas, musik pun juga harus dilihat dari berbagai sisi. Jangan-jangan ada perbedaan persepsi tentang musik dan alat musik itu sendiri, karena perbedaan persepsi tentang hal ini juga pasti menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda pula.
Dengan demikian jika tidak ada persamaan persepsi tentang music ini pasti akan terus terjadi perbedaan pendapat di dalamnya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari Aisyah ia berkata, Abu Bakar masuk ke dalam rumahku, sementara di tempatku terdapat dua orang budak wanita Anshar sedang bernyanyi sebagaimana yang dibawakan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu’ats. Ia berkata, “Namun keduanya bukanlah penyanyi yang terkenal.” Maka Abu Bakar pun bertanya, “Apakah di tempat Rasulullah ﷺ terdapat nyanyian setan?” Pada hari itu merupakan hari raya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu miliki hari raya, dan hari ini merupakan hari raya untuk kita.” (HR Muslim)
Dalam hadits di atas dikabarkan bahwa di rumah Ibunda ‘Aisyah pada saat hari raya ada dua orang budak sedang bernyanyi, ayah beliau terkejut dan memberikan komentar yang negatif sesuai pemahaman beliau, akan tetapi kemudian Rasulullah menegurnya dan membiarkan kejadian itu tetap terjadi. Kata mizmar dalam teks hadits di atas di antaranya bermakna seruling yakni sebagai alat musik.
Dengan demikian perlu tinjauan yang lebih detail tentang musik yang dilarang oleh Rasulullah sebagaimanahadits yang diperbincangkan saat ini.
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ.
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat music.” (HR. Bukhari)
Dalam teks ayat atau hadits lainya yang terkait dengan apa yang diharamkan itu perlu ditinjau secara komprehensif, sehingga diharapkan akan mendapatkan kesimpulan hukum yang sesuai. Karena kesalahan mengambil kesimpulan hukum juga dapat berakibat fatal.
Maka seorang hakim hendaknya memeliki tinjauan yang luas terhadap suatu masalah sehingga tidak terjebak pada mudah memvonis orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Dan lebih bijak adalah saling menhgormati dan menghargai perbedaan tanpa harus memvonis orang lain, karena yang benar-benar Al-Hakim itu hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni