Oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Pengalaman hidup yang susah, getir, dramatis biasanya awet diingat. Contohnya, pengalaman nyaris gameover karena klelep di kali pasti akan diingat seumur-umur. Beda kalau pengalaman hidup makan rawon paling enak di dunia, tetap saja mudah terlupakan. Jika diceritakan pun juga kurang menarik karena semua mafhum pada akhirnya rawon itu akan jadi apa.
Termasuk kesusahan saya ketika ke Jerusalem tahun 1990. Dari Masjid Al Aqsha saya dan teman-teman berniat cari makan. Saya menelusuri jalanan Jerusalem yang sumpek, dipagari rumah-rumah tembok kusam dan tua seperti memasuki labirin yang sangat panjang dan berkelok-kelok.
BACA Dari Surabaya ke Jerusalem (1): Bersimpuh di Mihrab Al Aqsha
Sudah lama saya berjalan tidak menemukan warung atau restoran buka. Sampai tenggorokan kering, perut bukan hanya keluruk tapi benar-benar berkotek karena saking kerasnya ingin segera diisi makanan. Sampai-sampai rasanya pingin nekad ngemis tapi saya tahan karena orang ngganteng tidak pantas kalau ngemis. Selain itu, rumah-rumah juga tutup. Jarang ketemu orang. Radius beberapa kilometer dari Masjid Al Aqsha benar-benar sepi wong. Yang ada hanya tentara dan polisi Israel berseliweran sambil menenteng senjata seolah kawanan serigala berburu rusa.
Ternyata baru saja ada intifadah yang dilakukan seusai shalat Jumat. Intifadah adalah perang batu rakyat Palestina melawan tentara Israel. Tentara Israel akan menembak siapa saja, tidak peduli anak-anak dan perempuan renta, kalau berani keluar di jalanan. Apalagi jika ada seorang tentara yang kena lemparan batu, kawan-kawannya akan membalas secara membabi buta layaknya kerasukan gendruwo.
Perang batu melawan peluru pasti tidak imbang ibarat buah ciplukan dibenturkan dengan salak. Intifadah memang bukan untuk memenangi perang secara fisik tetapi perang opini. Membentuk opini dunia bahwa rakyat Palestina masih ada. Rakyat Palestina ingin merdeka terbebas dari penjajahan Israe
Saya baru menemukan warung ketika sampai di kawasan Gereja Makam Kudus. Itulah tempat suci bagi umat Kristen. Jerusalem atau Al Quds memang Kota Suci tiga agama. Dua tempat suci lainnya adalah Masjid al Aqsha bagi umat Islam) dan Tembok Ratapan bagi umat Yahudi. Saya sempat singgah di Tembok Ratapan. Menyaksikan umat Yahudi sedang menempelkan mukanya di tembok, meratap, berdoa.
Di kawasan Gereja Makam Kudus ini terdapat peti mati terbuat dari batu atau marmer yang diyakini umat Kristen sebagai kuburan Yesus. Kuburan itu kosong karena Yesus naik ke langit. Kain kafan Yesus disimpan di Turin, Italia. Saya juga bisa melihat sisa bebatuan bukit Golgota, tempat Yesus disalib. Sekali lagi itu menurut iman Kristen.
Kawasan ini mayoritas dihuni umat Kristen, baik Katolik, Armenia, Kristen Ortodoks, dan lain-lain. Penduduk Jerusalem memang terdiri dari berbagai agama yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Sekte-sekte di setiap agama juga berbagai macam yang ada di situ. Komposisi penduduk dengan latar belakang agama juga relatif berimbang.
BACA JUGA: Dari Surabaya ke Jerusalem (2): Jurus MMD Israel dan Strategi Nabok Nyilih Tangan
Meski tidak segencar di kawasan Al Aqsha, di kawasan Gereja Makam Kudus juga ada intifadah karena gerakan ini juga dilakukan umat Kristen. Hanya yang terkesan di masyarakat luar, yang melakukan intifada hanyalah orang muslim. Bahkan di Indonesia dikesankan seolah perjuangan rakyat Palestina itu perjuangan kemerdekaan Islam.
Perjuangan kemerdekaan Palestina adalah gerakan nasionalisme. Kendati nasionalisme bukan berarti lantas umat Islam harus mengendorkan bantuanya terhadap rakyat Palestina. Karena gerakan kemerdekaan, keadilan, adalah suatu yang diharus diperjuangkan Islam. Islam bukan hanya untuk muslim, tapi Islam itu untuk semua. Itulah hakikat rahmatan lil alamin.
Sedikitnya informasi bahwa umat Kristen Palestina juga berjuang ini pula yang dikeluhkan tokoh Kristen Palestina Nayef Hawatmeh, Ketua Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina. Saya bertemu Nayef di Amman, Yordania dalam sebuah pertemuan tokoh-tokoh Palestina. Kedatangan Nayef ke Amman untuk membuka mata dunia bahwa umat Kristen Palestina juga terjajah. Juga ingin merdeka. Juga berjuang. Mau membuka mata dan hati Kristen dunia bahwa mereka sudah ditipu Israel.
Alasan serupa yang mendorong pula tokoh Kristen Palestina yang lain, George Habash hadir di Amman. Habash adalah pendiri Partai Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. Kedatanga keduanya ke Aman ii tergolong nekad. Karena keduanya adalah buron pemerintahan Yordania karena terlibat gerakan Black September.
Israel berhasil membentuk sayap Kristen-Zionis. Orang-orang Kristen yang direkrut untuk menjadi mitra dan mendukung Israel. Ideologi yang dihujamkan adalah bahwa Jerusalem untuk bangsa Israel adalah amanat Bibel atau kitab suci mereka. Jerusalem adalah bagian Tanah Perjanjian atau wilayah yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa Israel.
Kristen-Zionis ini meluas ke seluruh dunia. Memasuki pelbagai sekte Kristen. Hanya Katolik yang sangat sulit ditembus. Sehingga wajar kalau sampai sekarang Pemimpin Tertinggi Katolik Dunia keras menolak langkah Presiden AS Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Adapun Donald Trump sangat mungkin seorang Kristen-Zionis. Dia berasal dari keluarga Kristen konservatif AS. Sangat sektarian. Pemahamannya terhadap Bibel sangat konservatif dan kaku. Sangat benci terhadap umat Islam. Selain ideologis, hubungan Trump dengan Yahudi diperkuat dengan jaringan bisnis.
Pergerakan jaringan Kristen-Zionis, termasuk Indonsia saat ini adalah memanfaatkan semua media sosial, media mainstream untuk membentuk opini dan keyakinan publik, khususnya umat Kristen bahwa Jerusalem adalah amanat kitab suci. Pengingkaran terhadapnya adalah murtad.
Saat ini sebenarnya tidak kalah seru dengan perang fisik adalah perang di dunia maya atau proxy war. Dan Israel sudah jauh mempersiapkan proxy war sebelum bangsa lain tersadar. Media-media besar di seluruh dunia dikuasai Zionis. Hardware maupun software mereka kuasai. Gerakan Arab Spring yaitu gerakan AS-Israel untuk menumbangkan Presiden Libya Kaddafi, Presiden Mesir Muhamamed Mursi, mengacak-acak Suriah dan Irak juga melalui proxy war. Keyakinan kaum Zionis sejalan dengan tesis Alfin Tofler: siapa yang yang menguasai teknologi informasi akan menguasai dunia. (*)