PWMU.CO – Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, 8 Ramadhan 1364, atau 16 Agustus 1945. Siang itu terjadi perdebatan panas. Para pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta menekan keduanya untuk melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia saat itu juga! Perdebatan berlangsung seru, bahkan nada ancaman pun datang silih berganti.
Puncaknya, Bung Karno pun beranjak dari kursinya dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara. “Kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.” Kalimat tegas itu keluar dari mulut Soekarno yang bersikeras memproklamirkan kemerdekaan RI besok harinya, 17 Agustus 1945. 9 Ramadhan 1364 H.
“Saya seorang yang percaya pada mistik,” lanjut Soekarno menjelaskan pemilihan 17. Kata ‘mistik’ memang terkesan erat dengan takhayul dan khurafat, tetapi apa yang dilakukan Soekarno 71 tahun lalu tampaknya jauh dari dua makna negatif tentang ‘mistik’ yang selama ini terkesan dengan kemusyrikan.
“Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik,” kata Soekarno yang direkam secara jelas oleh saksi sejarah, Lasmidjah Hardi.
“Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” lanjut Soekarno.
Meski alasan Soekarno masih kurang disetujui para pemuda yang menginginkan proklamasi saat itu juga, 16 Agustus, Soekarno-Hatta tetap tidak bergeming. Setelah melalui perundingan yang lama dengan negosiator Achmad Subardjo, kedua proklamator itu akhirnya dapat dibawa kembali ke Jakarta.
Sampai di Ibukota sekitar pukul 23.00 wib, mereka menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, setelah menurunkan Fatmawati dan Guruh di rumah Soekarno. “Rumah Laksamada Maeda dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya,” kenang Achmad Subardjo, Menteri Luar Negeri pertama RI.
Setelah sempat menemui kepala pemerintahan umum (Somobuco), Mayor Jenderal Nishimura, keduanya balik lagi ke rumah ini untuk membicarakan langkah menuju kemerdekaan RI.
Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik golongan tua maupun pemuda, menunggu di serambi muka. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa itu berlangsung. Perumusan proklamasi berjalan secara alot, hingga penyelesaiannya hampir Subuh, 04.00 wib.
Setelah selesai merumuskan teks Proklamasi, ketiganya menuju serambi muka untuk menemui orang-orang yang berkumpul di ruangan itu. Soekarno membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep.
“Sementara teks Proklamasi diketik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh,” lanjut Soebardjo.
Dalam penanggalan, waktu shalat Subuh pada 17 Agustus 1945 jatuh pada pukul 4.47 wib untuk wilayah Jakarta. Artinya, masih ada waktu untuk makan sahur selama 43 menit bagi pemimpin bangsa itu. Mereka menyantap makan sahur dengan lahap. Selain karena berbuka puasa ‘sekedarnya’ pada puasa sebelumnya, kenikmatan sahur Jum’at itu juga karena bangsa ini akan memasuki era Indonesia baru yang merdeka.
Hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 05.00 wib, setelah shalat Subuh, para pemimpin dan pemuda bangsa itu keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno dipadati pemuda dan rakyat yang berbaris teratur, dan beberapa orang tampak gelisah khawatir akan dikacau Jepang. Waktu itu Soekarno sedang sakit. Malamnya panas dingin terus-menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi.
Para undangan dan rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar. Mereka sangat berharap agar Proklamasi segera dilakukan. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta.
Selanjutnya halaman 2