Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan setelan putih-putih yang sering melambangkan arti ‘kesucian’. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Sejarawan, Marwati Djoened Poesponegoro melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi berlangsung sederhana, tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang menunggu sejak pagi untuk berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilakan Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon.
Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi. “Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.”
“Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”
Pidato itu menggambarkan betapa kemerdekaan sarat dengan nilai spiritualitas Islam.Mereka dengan sangat sadar memahami bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pertolongan Tuhan Allah swt. Selain itu, sejarah penting bangsa Indonesia ini terjadi pada 9 Ramadhan 1364 H, bulan suci umat Islam.
“Barangkali peristiwa semacam itu bisa saja dilupakan, dalam arti tidak berkaitan dengan bulan puasa Ramadhan, namun tidaklah berlebihan pula kalau kita memandangnya sebagai sesuatu yang unik,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang 2003-2007, Prof Abu Su’ud.
Meski tidak termaktub dalam al-Quran bahwa di bulan Ramadan 14 abad setelah al-Quran turun bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, kemerdekaan RI harus dipandang dengan rasa syukur. Sebagai umat muslimin, sudah sepatutnya peristiwa itu dipandang dengan penuh keimanan.
Meskipun peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia tidak diperingati pada bulan Ramadan, tetapi diperingati pada setiap 17 Agustus, tetapi peristiwa yang bersamaan waktu itu memiliki semangat yang bersifat spiritual bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
“Namun kita tidak perlu memandangnya sebagai peristiwa keagamaan, kita harus memandangnya secara proporsional,” lanjut Su’ud. “Mudah-mudahan sebagai umat Islam dan warga bangsa Indonesia kita bisa membangkitkan kesadaran sejarah lewat pengamalan ibadah puasa,” pungkas Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang itu.
Dari sisi kesejarahan dan keagamaan, sesungguhnya tidak salah bila setiap bulan Ramadhan, khususnya pada tanggal 9, umat Islam sedikit banyak mengenang detik-detik Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Paling sedikit dipastikan berbeda secara spiritual, mengingat kondisi mental-spiritual orang-orang yang berpuasa memiliki kedekatan tersendiri dengan Allah SWT. (arya/abidin/kholid)