Jadi Guru Anak dari Kantor, Ini 5 Tipsnya ditulis oleh Munahar, Kepala SD Muhammadiyah 6 Gadung Surabaya. Meksi bekerja, orangtua tetap bisa ‘mengajari’ anak di rumah saat masa libur wabah Covid-19.
PWMU.CO – Beberapa hari yang lalu saya menulis 8 Tips Orangtua Jadi Guru di Rumah. Lalu muncul problem baru, bagaimana jika orangtua bekerja, sementara anak-anak ‘sekolah’ di rumah?
Tidak perlu khawatir. Dalam kondisi tertentu orangtua tidak harus selalu disamping anak dalam proses belajar. Termasuk orangtua yang bekerja. Karena yang paling utama adalah kehadiran.
Kehadiran yang saya maksud: Perhatian dan kasih sayang dari orangtua meskipun secara fisik tidak ADA di dekat mereka.
Perhatian dan kasih sayang ini merupakan kebutuhan dasar anak. Jika mampu dipenuhi, maka setengah dari proses belajar telah selesai.
Lalu bagaimana bentuk perhatian, kasih sayang, dan strategi yang perlu dilakukan supaya orangtua di kantor pun masih tetap bisa menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah:
Pertama: Maksimalkan bersama Anak sebelum Kerja
Saya memiliki pengalaman. Ada dua murid dengan jawaban yang berbeda setelah saya tanya kegiatan yang dilakukan sebelum berangkat sekolah.
Murid 1: Saya tadi shalat Subuh di masjid bersama ayah. Jalan kaki. Setelah pulang— sampai di rumah—ngaji bareng ayah-bunda.
Kemudian bunda masak. Saya main tebak-tebakan dengan ayah. Kalau saya menang dapat cium dari ayah, kalau ayah yang menang saya harus mencium ayah.
Kadang-kadang juga badminton di depan rumah bersama ayah. Setelah itu mandi, sarapan, dan persiapan berangkat sekolah. Sedangkan ayah dan bunda persiapan berangkat kerja.
“Di antara kedua orangtua, ayah dan bunda, siapa yang paling kamu banggakan?” tanya saya.
“Keduanya, Ustadz,” jawabnya.
Murid 2: Bangun tidur, shalat Subuh, mandi. Setelah itu sarapan pagi dan persiapan berangkat ke sekolah.
“Tadi pagi sempat belajar?” tanya saya.
“Belajar,” jawabnya.
“Sama siapa?” tanya saya lebih lanjut.
“Sendiri, Ustadz,” jawabnya.
Kok gak minta ditemani bapak atau ibu?” saya menggoda.
“Biasanya bapak mengerjakan tugas kantor sementara ibu memasak,” jawabnya.
“Di antara keduanya, bapak atau ibu, siapa yang paling kamu banggakan?” tanya saya.
“Keduanya, Ustadz,” jawabnya.
Jawaban Sama, Ekspresi yang Berbeda
Yang saya suka dari jawaban kedua murid tersebut adalah keduanya bangga akan kehadiran dan keberadaan orangtua mereka.
Namun jangan ditanya, ekspresi wajah dari kedunya saat memberikan jawaban itu. Sebab Anda pasti bisa merasakan apa yang diberikan oleh orangtua masing-masing yang kemudian berimbas pada kebanggaan anak kepada keduanya.
Ternyata kunci utamanya adalah waktu yang difokuskan kepada anak.
Bagi anak, waktu sedikit atau panjang itu tidak terlalu penting. Karena yang paling penting bagi mereka adalah kualitasnya.
Orangtua yang memberikan waktu kepada anak tiga jam, sementara pikiran dan konsentrasinya terpecah untuk kegiatan yang lain, maka waktu yang banyak itu tidak bisa dirasakan oleh anak sebagai bentuk perhatian, kehadiran, cinta, dan kasih sayang dari orangtua kepada anak.
Hal ini tentu berbeda dengan waktu yang tersedia hanya 45 menit. Sementara orangtua betul-betul konsentrasi kepada anak. Ia tinggalkan kesibukan yang lain. Bahkan HP dimatikan. Ia temani anak bermain.
Dia dengarkan dengan baik dan penuh perhatian apa yang dicurhatkan tanpa menjeda kecuali dibagian akhir ia berikan pendapatnya. Maka dalam kondisi demikian, anak bisa merasakan kehadiran, perhatian, cinta, dan kasih sayang dari orangtua kepada mereka.
Lalu apa dampaknya: anak akan menjadi dekat dan bangga kepada orangtuanya. Ke depannya lagi anak akan menjadi taat disetiap yang dinasehatkan kepadanya.
Oleh sebab itu, memaksimalkan kegiatan bersama anak sebelum berangkat kerja akan memberikan kesan sangat positif, menumbuhkan semangat dan optimisme yang luar biasa. Ini akan menjadi awal yang penting untuk hari itu dan kesuksesan selanjutnya.
“Ketika Anda memberikan sedikit dari diri Anda untuk seorang anak, Anda memberikan sedikit dari diri Anda untuk masa depan mereka!” (Kevin Heath)
Kedua: Tiga Menit di Tiga Waktu
Tidak banyak orangtua yang melakukan kontrol terhadap keadaan anaknya. Meskipun hanya sekadar menyapa anak dalam aktivitasnya, terlebih di sekolah.
Sebab selain anak telah dipercayakan kepada guru atau pihak sekolah juga khawatir akan mengganggu kegiatan belajar mengajar di lembaga tersebut.
Namun, dalam kondisi anak harus belajar di dan dari rumah disebabkan oleh pandemi Coronavirus, sementara orangtua harus bekerja di luar rumah, maka sangat disarankan kontrol itu dilakukan. Setidaknya tiga menit pada tiga waktu:
Pertama: pukul 09.30. Orangtua bisa menghubungi anak meskipun sekadar menyapa, “Ayah sangat bangga kepadamu.” atau “Pagi ini sedang mengerjakan apa?”
Bisa juga, “Apa ada yang perlu dibantu bunda?” atau “Jangan lupa shalat dhuha!” Dan komunikasi ringan lainnya.
Kedua: pukul 12.00. Ini waktu yang cukup tepat untuk menyapa anaknya kembali. Meskipun hanya mengingatkan shalat, makan, dan istirahat siang. Setelah itu ditutup lagi dengan kalimat, “Ayah sangat bangga kepadamu.”
Ketiga: menghubungi saat jelang pulang. Disapa dengan menanyakan shalat Asharnya. Mungkin juga bisa ditanya apa ada yang dipesan sebelum pulang. Pesan untuk tidak lupa mandi, dan sebagainya.
Waktu komunikasi ini bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena intinya adalah orang tua memberikan waktu dan perhatian pada anak meskipun pada posisi di kantor.
Namun demikian, tidak semua anak senang diperlakukan demikian. Dia merasa dikontrol, dan lain sebagainya. Jika demikian maka waktu berkomunikasi volumenya bisa sangat disesuaikan melihat kondisi yang ada. Dan yang terpenting adalah ketulusan hati kita dalam mendidik dan berkomunikasi itu.
Problem baru akan muncul: anak tidak memiliki HP. Apakah harus dibelikan? Saya kira orangtua akan mengambil skala prioritas. Kalaupun dibelikan, posisi HP tidak menjadi hak milik anak, namun milik orangtua yang dipinjamkan untuk kebutuhan belajar anak.
Hal ini akan memungkinkan orangtua mudah mengontrol penggunaannya. Kalaupun orangtua sengaja tidak memberikan fasilitas, ini juga sah-sah saja. Maka bisa bekerja sama dengan anggota keluarga di rumah. Dan komunikasi masih tetap bisa berjalan melalui anggota keluarga yang di rumah.
Intinya bahwa komunikasi itu harus tetap diupayakan. Semakin baik komunikasi itu, maka akan semakin baik pula hubungan anak dengan orangtuanya. Dan ini sebagai modal kesuksesan masa depannya.
Ketiga: Pelibatan Anggota Keluarga
Dalam kontek mendidik anak, kita tidak mungkin hanya mengandalkan seorang diri. Butuh orang lain. Supaya berhasil, maka orang-orang yang terlibat dan akan dilibatkan harus memiliki persepsi yang sama dalam pendidikan anak.
Hal ini penting mengingat masa anak adalah masa meniru. Mereka akan melakukan sesuai dengan apa yang dilihatnya. Dan anak akan mengalami kebingungan jika tidak ada kesamaan persepsi dalam mendidik diantara mereka.
Untuk menyamakan persepsi, yang paling mudah adalah dengan cara dibuat peraturan yang harus disepakati dan dijalankan semua anggota keluarga.
Misalnya, peraturan mengembalikan barang pada tempatnya. Maka seluruh anggota keluarga harus menaati dan menjalankan peraturan ini. Jika ada anak—yang mungkin dalam kondisi kurang mood—lalu ia tidak mengembalikan barang pada tempatnya, maka anggota keluarga yang di rumah juga harus mengingatkan.
Itu artinya yang mengawal jadwal dan peraturan ini adalah anggota keluarga yang berada dirumah. Orangtua bisa mempercayakan tugas mendampingi belajar anak kepada anak pertama (jika ada), pembantu yang dipercaya, atau anggota keluarga yang lain.
Minimal yang diberikan amanah itu bisa membantu mengingatkan jadwal dan peraturan. Tugas orang tua adalah mengontrol dari tempat kerjanya.
Empat: Buat Mini Jurnal
Setiap kegiatan akan bisa dievaluasi lalu dilakukan perbaikan jika ada laporan. Maka laporan ini menjadi penting. Setidaknya, sepulang dari kantor, orang tua bisa mengontrol dan me-review kegiatan yang dikerjakan sehari.
Contoh format laporan kegitan/mini jurnal membaca buku cerpen/fiksi/non fiksi:
hari/tanggal, waktu membaca, judul buku yang dibaca, pengarang, kesimpulan.
Apa pentingnya laporan ini: Pertama, orangtua bisa mengontrol kegiatan dan bisa juga bertanya tentang isi atau kesimpulan dari buku yang dibaca.
Minta anaknya bercerita. Dengarkan dengan baik. Berikan anggukan dan senyum di jeda-jeda mereka menyampaikan kisahnya.
Kedua, jika ada hal-hal yang sulit, orangtua bisa membantu memecahkan masalahnya. Bukankah ini akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan bagi mereka?
Lima: Gali, Puji, dan Apresiasi
Apa yang dilakukan anak seharian sudah barang tentu ada yang menyenangkan dan ada yang menyedihkan. Ada yang mudah ada pula yang sulit.
Maka dibutuhkan ketrampilan komunikasi yang baik dari orangtua supaya bisa menggali detail informasi dari anaknya. Yang mudah dan bisa dikerjakan oleh anak berikan pujian. Yang sulit bantu mereka menyelesaikan masalahnya.
Sebelum kita menggali informasi lebih jauh kepada anak, ada baiknya, sebagai data awal, kita minta informasi dari anggota keluarga yang menemani belajar anak di rumah. Cari sisi positif yang dilakukan anak, lalu puji dan apresiasi dia dengan minimal menyampaikan terima kasih sudah melakukan hal-hal yang baik itu.
Sementara yang tidak baik, simpan dulu, lalu cari kesempatan yang tepat untuk menyampaikan beberapa hal yang harus diperbaiki dari anak tersebut secara tersendiri. Kenapa hal ini perlu dilakukan, supaya wibawa dan harga diri anak tetap terjaga.
“Pujilah anak-anak Anda secara terbuka, tegur mereka secara diam-diam.” (W. Cecil)
Saat-saat tertentu, apresiasi bisa diberikan dalam bentuk barang yang disukai anak atau bisa juga dimasakkan dengan menu yang paling disukainya. Dan bentuk apresiasi lain yang membuat anak lebih bersemangat untuk melakukan kegiatan tahapan belajarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.